Rabu, 02 Maret 2016

PERKAWINAN BEDA AGAMA (HATTAH)



 

KATA PENGANTAR


Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat NYA sehingga makalah ini dapat tersusun hingga selesai . Tidak lupa kami juga mengucapkan banyak terimakasih atas bantuan dari pihak yang telah berkontribusi dengan memberikan sumbangan baik materi maupun pikirannya.

Dan harapan kami semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman bagi para pembaca, Untuk ke depannya dapat memperbaiki bentuk maupun menambah isi makalah agar menjadi lebih baik lagi.



Pamulang, januari 2016
.          

            Penyusun

BAB I
PENDAHULUAN


1.1         Latar Belakang Penulisan


Indonesia adalah Negara yang dikenal dengan kemajemukannya baik dalam budaya, adat istiadat, bahasa maupun agama. Agama yang dianut dan diakui masyarakat Indonesia adalah Islam, Kristen, Katholik, Budha, Hindu dan Konghuchu.

Pada umumnya, pada suatu masa tertentu bagi seorang pria maupun sorang wanita timbul kebutuhan untuk hidup bersama dengan manusia lainnya yang berlainan jenis kelaminnya. Hidup bersama antara seorang pria dengan seorang wanita yang telah memenuhi syarat-syarat terentu disebut perkawinan.

Secara umum perkawinan beda agama dapat diartikan sebagai perkawinan yang dilaksanakan oleh sepasang suami istri yang berbeda agama saat melangsungkan perkawinan. Perkawinan ini disamping merupakan sumber kelahiran yang berarti obat penawar musnahnya manusia karena kematian juga merupakan tali ikatan yang melahirkan keluarga sebagai dasar kehidupan masyarakat dan negara. Hidup bersama antara seorang pria dan seorang wanita tersebut mempunyai akibat yang sangat penting dalam masyarakat, baik terhadap kedua belah pihak maupun terhadap keturunannya serta anggota masyarakat lainnya. Oleh karena itu dibutuhkan suatu peraturan yang mangatur tentang hidup bersama itu.

Dalam wacana dikotomi publik-privat, perbincangan seputar perkawinan cenderung dianggap sebagai wilayah privat. Pengaturan perkawinan tidak dapat dilepaskan dari wacana keluarga. Dalam konteks inilah baik agama sebagai sebuah institusi maupun negara memiliki kepentingan untuk mengadakan pengaturan. Agama sebagai sebuah institusi memiliki kepentingan yang signifikan atas keluarga, sebab keluarga sebagai satuan kelompok sosial terkecil memiliki peran penting dalam melakukan sosialisasi nilai-nilai yang ada dalam agama. Sementara itu negara, sebagai institusi modern pun tak bisa mengabaikan keluarga dalam mengatur dan menciptakan tertib warganya.

Pada masyarakat sekarang, suatu perkawinan dianggap sah apabila telah mendapat pengakuan dari negara. Cara untuk mendapatkan pengakuan itu sering berbeda-beda diantara negara yang satu dengan negara yang  lain. Di dalam Negara Republik Indonesia sebagai negara yang berdasarkan Pancasila, dimana sila yang pertama adalah “Ketuhanan Yang Maha Esa” maka perkawinan dianggap mempunyai hubungan yang erat sekali dengan agama atau kerohanian sehingga perkawinan bukan saja mengandung unsur lahir atau jasmani tetapi juga mengandung unsur batin atau rohani, disamping itu pula perkawinan mempunyai peranan yang penting, terlebih-lebih sejak berlakunya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dimana didalam pasal 2 ayat (1) dinyatakan bahwa tidak ada perkawinan diluar hukum masing-masing agama dan kepercayaannya. Dengan demikian peranan agama dan kepercayaan semakin lebih diteguhkan didalam hukum positif kita. Dengan adanya pasal 2 ayat (1) tersebut pelaksanaan menurut agama dan kepercayaan masing-masing telah merupakan syarat mutlak untuk menentukan sah atau tidaknya suatu perkawinan. Tidak ada persoalan apabila perkawinan hanya dilakukan antara orang-orang yang seagama atau sekepercayaan.

Pada prinsipnya, UU No 1 Tahun 1974 menganut prinsip perkawinan monogamy. Poligami pada golongan – golongan tertentu hanya dapat dilakukan dalam hal – hal tertentu dan di bawah pengawasan yang berwajib, dengan pengertian bahwa poligami itu tidak boleh dipaksakan terhadap isteri yang tidak mau dimadu.[2] Mengingat di negara kita hidup serta diakui berbagai macam agama dan kepercayaan, maka tidak mengherankan apabila kita sering menjumpai atau mendengar adanya perkawinan antar orang-orang yang berbeda agama atau kepercayaan.

Di Indonesia sendiri ketentuan berkenaan dengan perkawinan telah diatur dalam peraturan perundang – undangan Negara yang khusus berlaku bagi warga Negara Indonesia. Aturan perkawinan yang dimaksud adalah UU No 1 Tahun 1974 dan peraturan pelaksananya Peraturan Pemerintah No 9 Tahun 1975. UU ini merupakan peraturan materiil dari perkawinan, sedangakan hukum formalnya ditetapkan dalam UU No 7 Tahun 1989. Sedangkan sebagai aturan pelengkap yang akan menjadi pedoman bagi hakim di lembaga peradilan agama adalah Kompilasi Hukum Islam di Indonesia yang telah ditetapkan dan disebarluaskan melalui Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam.[3]

1.2         Identifikasi dan Perumusan Masalah


Sesuai dengan uraian pada latar belakang penulisan di atas, maka masalah pokok di dalam penulisan ini dapat diidentifikasi sebagai berikut :
“ Terdapat Permasalahan dalam Menentukan Hukum yang Berlaku bagi Perkawinan Beda Agama di Indonesia. “

Sebagai pembatasan masalah dalam penulisan ini, dapat dirumuskan pertanyaan – pertanyaan – pertanyaan penulisan sebagai berikut :
1.      Apakah peristiwa hukum perkawinan antara Petrus Nelwan ( Protestan ) dengan Andi Vonny Gani ( Islam ) termasuk dalam objek penelitian Hukum Perselisihan dan jelaskan faktor – faktornya ?
2.      Hukum apa yang berlaku bagi perkawinan antara Petrus Nelwan ( Protestan ) dengan Andi Vonny Gani ( Islam ) dan sebutkan alasannya ?
3.      Bagaimana pengaturan perkawinan berbeda agama dalam GHR (Gemende Huwelijken Regeling ) dan bandingkan dengan Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 ?

1.3         Tujuan Penulisan


Tujuan penulisan ini adalah untuk :
1.      Mengetahui titik taut primer dan titik taut sekunder dalam menyelesaikan masalah perkawinan antar agama menggunakan asas dan kaidah hukum perselisihan.
2.      Mengetahui bagaimana pengaturan perkawinan beda agama di Indonesia berdasarkan UU No. 1 Tahun 1974.
3.      Menganalisis perbandingan pengaturan perkawinan beda agama dalam GHR, hukum agama masing – masing pihak, dan UU No 1 Tahun 1974.

BAB II
PEMBAHASAN

2.1         Pengertian Hukum Perselisihan (Hukum Antar Tata Hukum)


Istilah mengenai Hukum perselisihan bermacam – macam, yaitu “ conflict of laws “, “ Hukum Pertikaian “ dan “ Hukum Antar Tata Hukum “. Hukum Perselisihan (conflict of laws) di Indonesia lebih dikenal dengan dengan istilah Hukum Antar Tata Hukum (HATAH). Suatu istilah inventie subyektif yang telah diterima secara umum, terdiri dari bagian intern dan extern[5] Istilah Hukum Antar Tata Hukum ( HATAH ) mengikuti istilah “ Integral Law “ dari Alf Ross.[6]Atau “ Interrechtsordenrecht “ dari Logemann,[7] “ tussenrechts – ordening “ dari Resink. Hukum Perselisihan adalah perselisihan antara hukum dengan hukum.[8] Menurut Soediman Kartohadiprodjo, perselisihan itu pun hanya dapat terjadi karena adanya dua sistem hukum atau lebih yang berlainan yang dapat menguasai suatu peristiwa hukum tertentu. Sementara kedua sistem hukum atau lebih yang berlainan tersebut memiliki kedudukan yang sama tinggi serta memiliki peluang sama untuk satu peristiwa hukum tertentu.

Pengertian Hukum Perselisihan (Hukum Antar Tata Hukum) menurut:
Soediman Kartohadiprodjo, Hukum Perselisihan (Hukum Antar Tata Hukum) merupakan keseluruhan ( asas ) dan kaidah yang menentukan hukum manakah atau hukum apakah yang akan berlaku apabila dalam suatu peristiwa hukum terpaut lebih dari satu sistem hukum.
Berdasarkan pengertian ini, diperoleh unsur – unsur hukum perselisihan yaitu :
·         Asas Hukum
·         Adalah latar belakang peraturan yang kongkret dan bersifat umum atau abstrak.
·         Kaidah hukum ( Norma ), merupakan ketentuan atau pedoman tentang apa yang seharusnya dilakukan.
·         Peristiwa hukum, adalah peristiwa yang oleh hukum dihubungkan dengan akibat hukum.
·         Terpautnya dua sistem hukum atau lebih, yaitu suatu keadaan dimana dua atau lebih sistem hukum memiliki peluang yang sama untuk menguasai suatu peristiwa hukum yang sama.
·         Kaidah yang mentukan. 
Kaidah ini terdapat dua macam, yaitu :
·         Kaidah penunjuk ( verwijzingregel ), yaitu kaida yang menunjuk kepada salah satu stelsel hukum yang dipertautkan untuk menentukan hukum manakah di antara hukum yang terpaut serta memiliki peluang sama yang kemudian berlaku bagi peristiwa hukum tersebut. Kaidah penunjuk diantaranya :
Peraturan Perkawinan Campuran ( GHR ) 1898.
Peraturan Penundukan Sukarela terhadap Hukum Perdata Eropa 1917.
Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen Jawa, Madura, Ambon dan Minahasa (HOCI) 1933.
·         Kaidah Bebas atau kaidah berdiri sendiri (zelfstandigeregel ), yaitu kaidah yang mengatur sendiri hubungan – hubungan hukum antar golongan. Contoh kaidah bebas :
Pasal 6 ayat (2) GHR yang menentukan “ berkenaan dengan perkawinan campuran harus selamanya terdapat pejabat nikah. “
Pasal 7 ayat (2) GHR menentukan “ Perbedaan agama, suku bangsa atau keturunan tidak dapat dijadikan penghalang untuk melakukan perkawinan. “

Ruang Lingkup Kajian Hukum Perselisihan (Hukum Antar Tata Hukum)
Hukum Perselisihan (Hukum Antar Tata Hukum) dapat dibagi menjadi bagian Intern dan extern. Dalam memberikan perumusan HATAH ini memakai landasan apa yang dinamakan “ Ilmu Lingkungan Kekuasaan Hukum “ ( gebiedsleer ).
·         HATAH (Hukum Antar Tata Hukum) Extern           
HATAH Extern disebut juga Hukum Perselisihan dalam arti makro, yaitu :
“ Keseluruhan kaidah yang menunjukkan stelsel hukum manakah yang akan berlaku apabila dalam suatu hubungan hukum atau peristiwa hukum terpaut lebih dari satu sistem hukum dari dua Negara atau lebih. “

·         HATAH  (Hukum Antar Tata Hukum) Intern
Hukum Perdata Internasional ( HPI ). HPI disebut sebagai “ conflict law “ yang mengandung ciri adanya unsur asing ( foreign element ) dalam hubungan hukum, sedangkan dalam Hukum Perselisihan (Hukum Antar Tata Hukum) tidak ada unsur asing. HPI adalah bagian dari Hukum Perselisihan (Hukum Antar Tata Hukum) dalam arti makro karena HPI merupakan bagian dari hukum nasional.  
            “ Conflict of Laws “ menurut definisi Gravesson menyangkut :
1.      Segala peristiwa – peristiwa publik maupun perdata yang mengandung unsur asing.
2.      Karena mengandung unsur asing, maka kita berhadapan dengan kemungkinan akan terlibatnya suatu sistem hukum asing pula.
3.      Sehingga ada kemungkinan pula, bahwa persoalan harus dibawa kehadapan hakim asing, untuk memperoleh putusan atas peristiwa hukum yang menimbulkan perselisihan itu.

HATAH (Hukum Antar Tata Hukum) Intern
HATAH Intern disebut juga sebagai Hukum Perselisihan (Hukum Antar Tata Hukum) dalam arti mikro, yaitu :
“ keseluruhan kaidah yang menunjukkan stelsel hukum manakah yang akan berlaku atau apakah yang merupakan hukum apabila suatu hubungan hukum atau peristiwa hukum antar sesama warga negara di dalam satu Negara. “

Perbedaan stelsel hukum yang berlaku bagi masing – masing warga Negara dalam satu Negara dan muncul menjadi persoalan hukum perselisihan hanya mungkin terjadi karena faktor – faktor :
1.      Berbeda golongan penduduk ( Hukum Antar Golongan )
Hukum Antar Golongan adalah keseluruhan peraturan dan keputusan hukum yang menunjukkan hukum manakah yang berlaku atau apakah yang merupakan hukum, jika hubungan – hubungan dan peristiwa – peristiwa antar warga Negara dalam suatu Negara, satu tempat dan satu waktu tertentu memperlihatkan titik – titik pertalian dengan stelsel dan kaidah hukum yang berbeda dalam lingkungan kuasa pribadi dan soal – soal.
HAG timbul oleh suatu peraturan colonial, i.c. “ Wet op de Staats inrichting van Ned. Indie “ atau “ Indische Staats Regeling “ ( IS ). S. 1855-2 jo. 1, yang merupakan lanjutan dari pada “ Reglement op het beleid der Reegering van Ned. Indie “ ( RR ) dan yang dalam Pasal 163 dan 131 telah membedakan golongan penduduk Indonesia ( Nederland Indie ) dalam tiga golongan, yaitu :
a.       Golongan Eropa dan yang dipersamakan ( orang Jepang ), Tunduk pada Hukum Eropa.
b.      Golongan Timur Asing. Untuk Timur Asing Cina tunduk pada Hukum Perdata Eropa, kecuali masalah adopsi dan kongsi. Untuk Timur Asing bukan Cina tunduk pada hukum adat mereka.
c.       Golongan Bumi Putera ( Indonesia Asli ), tunduk pada hukum adat. Dalam S. 1933 No. 49 pernyataan berlaku beberapa ketentuan dari buku kedua WvK ( Hukum Dagang ) terhadap orang – orang Indonesia mulai 1 April 1933.
Karena adanya penggolongan rakyat (pembagian dalam bevolkingsgroepen) berdasarkan ketentuan dalam pasal 163 dan 131 I.S), maka timbullah persoalan-persoalan tentang hukum yang harus dipakai jika orang dari golongan rakyat yang satu mengadakan hubungan dengan orang dari golongan-golongan rakyat yang lain.
2.      Perbedaan Agama ( Hukum Antar Agama )
Hukum Antar Agama adalah keseluruhan kaidah hukum yang menentukan hukum apakah atau hukum manakah yang berlaku apabila dalam suatu peristiwa hukum bertaut dua sistem hukum atau lebih disebabkan melibatkan orang – orang yang berlainan agama.
3.      Berbeda lingkungan adatnya ( Hukum Antar Adat )
4.      Hukum Antar Adat adalah semua kaidah hukum yang menentukan hukum manakah dan hukum apakah yang berlaku, apabila dalam suatu peristiwa hukum tersangkut dua hukum atau lebih yang berlainan karena berlainan daerah dalam suatu Negara.
5.      Berbeda wilayah ( regio ) jajahan ( Hukum Antar Regio )
HAR adalah kaidah hukum yang menentukan hukum manakah dan hukum apakah yang berlaku, apabila dalam suatu peristiwa hukum terpaut dua hukum atau lebih yang berlainan karena perbedaan bagian dalam suatu Negara.
Perbedaan waktu berlakunya hukum ( Hukum Antar Waktu )
HAW adalah seluruh kaidah hukum yang menentukan hukum manakah dan hukum apakah yang berlaku, apabila dalam suatu peristiwa hukum terpaut dau sistem hukum yang berlainan dalam satu Negara namun berbeda waktu berlakunya.

2.2         Titik Pertautan

Titik pertautan adalah bertemunya dua kaidah atau dua sistem hukum yang pada mulanya terpisah dan berbeda, Disebabkan berbagai factor, dua atau lebih kaidah atau sistem hukum bertemu pada satu titik singgung.[13] Fungsi titik pertauta adalah sebagai metoda dalam rangka menelusuri indikator – indikator untuk dapat menentukan apakah suatu hubungan hukum diantara subjek – subjek hukum dapat digolongkan sebagai hukum perselisihan. Titik pertautan dibedakan menjadi dua, yaitu titik pertautan primer dan titik pertautan sekunder.

1.      Titik Pertautan Primer ( Titik Taut Pembeda )
Titik Taut Primer menurut Gouwgioksiong adalah hal – hal yang merupakan tanda akan adanya persoalan Hukum Antar Golongan.[14] Menurut Prof. Eman Suparman, Titik Taut Primer merupakan indikator pembeda berupa faktor – faktor dan/ keadaan – keadaan yang menunjukkan bahwa suatu hubungan hukum merupakan hubungan hukum dalam konteks Hukum Perselisihan.

Indikator – indikator pembeda dalam Hukum Perselisihan (Hukum Antar Tata Hukum), yaitu :
a.       Golongan Rakyat, dalam Hukum Antar Golongan. Maksudnya, apabila para pihak melakukan hubungan hukum itu berasal dari golongan yang berbeda ( Pasal 131 dan 163 IS : Golongan Eropa, Golongan Timur Asing dan Golongan Pribumi ).
b.      Agama masing – masing pihak, dalam Hukum Antar Agama.
c.       Adat atau Hukum Adat para pihak, dalam Hukum Antar Adat.
d.      Tanah jajahan yang berlainan dari Negara penjajah yang sama, dalam Hukum Antar Regio.

2.          Titik Pertautan Sekunder ( Titik Taut Penentu )
Titik taut sekunder menurut Dr. Sunarjati Hartono, S.H. adalah fakta – fakta yang menentukan hukum manakah yang harus berlaku.[15] Menurut Prof. Dr. S. Gautama, S.H. adalah factor – factor  dan keadaan – keadaan yang menentukan berlakunya suatu sistem Hukum tertentu. Jadi, Titik Taut Sekunder adalah indicator – indicator yang menentukan hukum yang berlaku bagi peristiwa hukum dalam konteks Hukum Perselisihan.
Indikator – indikator penentu, yaitu :
a.       Kehendak atau maksud para pihak. Jadi, para pihak bebas memilih hukum diantara hukum para pihak yang akan diberlakukan untuk peristiwa hukum mereka.
b.      Pilihan hukum. Jadi, para pihak memilih hukum pihak ketiga ( di luar hukum para pihak ).
c.       Milieu atau lingkungan tempat terjadinya peristiwa atau hubungan hukum.
d.      Kedudukan masyarakat yang jauh melebihi dari salah satu pihak. Misalnya, pihak Bank menetapkan standard contract ( perjanjian baku ) terhadap nasabah yang akan melakukan pinjaman kepada Bank. Dalam hal ini, debitor ( nasabah ) harus mematuhi standard contract yang ditetapkan kreditor ( Bank ).

2.3         Asas – Asas Yurisprudensi Hukum Perselisihan (Hukum Antar Tata Hukum)


Dalam konteks Hukum Perselisihan, yurisprudensi memegang peranan cukup penting, baik sebagai kaidah berdiri sendiri (zelfstandige regel ) maupun sebagai kaidah penunjuk (verwijzingsreges ).

Kaidah – kaidah tetap yang dihasilkan dari yurisprudensi diantaranya :
1.      Warisan diatur oleh hukum dari orang yang meninggalkan harta atau pewaris.
Gouwgioksiong dalam bukunya “ Hukum Antar Golongan “ dikumpulkan beberapa putusan pengadilan yang semuanya mengandung azas ini, yaitu :
a.       Putusan Hooggerechtshof ( HgH ) 28 Mei 1885 dalam Tijdschrift van het Recht ( T ) jilid 45 / 20.
b.      Putusan Landraad 26 April 1925 dikuatkan oleh R.v.J. Makasar 6 Desember 1929 dan 20 Juni 1930 ( T. 1933/327 ).
c.       Putusan R.v.J. Jakarta 8 Desember 1933 ( T. 139/91 ).
d.      Dll.
2.      Pengakuan anak harus dilakukan menurut hukum dari orang yang mengakui.
Asas ini mengandung pengertian bahwa pengakuan seorang anak yang lahir diluar perkawinan harus dilakukan menurut hukum yang berlaku bagi sang Ayah.
3.      Tanah mempunyai status tersendiri atau hukum tanah tidak dipengaruhi oleh hukum orang yang memperolehnya.
Dalam Penjelasan UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok – Pokok Agraria dijelaskan bahwa Hukum Agraria sebelum UU No. 5 Tahun 1960 diundangkan adalah bersifat “ dualisme “, yaitu membedakan antara hak – hak tanah menurut Hukum Adat dan hak – hak tanah menurut Hukum Barat yang berpokok pada ketentuan Buku II KUHPerdata. Maka dari itu, Hukum Agraria baru harus sesuai dengan kesadaran hukum dari rakyat banyak. Oleh karena rakyat Indonesia sebagian besar tunduk pada Hukum Adat, maka UU Nomor 5 Tahun 1960 didasarkan pada ketentuan Hukum Adat Indonesia.
4.      Hukum atas barang yang dapat dipindahkan ( bergerak ) mengikuti orang yang bersangkutan.
Salah satu ciri dari hak kebendaan adalah mempunyai zaaksgevolgatau droit de suit (hak mengikuti). Artinya, hak it uterus mengikuti bendanya, dimanapun juga (dalam tangan siapapun) barang itu berada. Hak itu terus mengikuti orang yang mempunyai. Sehingga, dalam melakukan perbutan hukum atas benda tersebut harus memakai hukum si pemilik benda itu.
5.      Hukum orang yang melanggar yang digunakan pada perbuatan melanggar hukum.
6.      Asas persamarataan semua stelsel hukum.
Asas ini terdapat dalam Pasal 2 GHR ( Regeling op de Gemengde Huwelijk ) :
“ Seorang perempuan yang melakukan perkawinan campuran, selama perkawinan berlangsung, perempuan ( isteri ) baik public maupun privat mengikuti hukum suami. “
Namun, terdapat pengecualian terhadap asas ini yaitu Pasal 75 HOCIHuwelijksordonnantie Christen – Indonesiers ) :
“ Perkawinan antara seorang lelaki Indonesia bukan Nasrani dengan perempuan Indonesia Nasrani, atas permintaan mereka, dapat dikukuhkan dengan menurut segala ketentuan ordonansi ini dan Reglement Catatan Sipil Indonesia – Kristen Jawa dan Madura, Minahasa dan Ambon, Saparua dan Banda ( S. 1933 No. 75 ). “
Jadi, Pasal 75 HOCI memberikan peluang untuk menyimpangi kaidah GHR, dan kepada pihak lelaki Indonesia bukan Nasrani dimungkinkan untuk memilih hukum yang berlaku bagi isterinya sebagai hukum perkawinan mereka.


2.4         Perkawinan Campuran menurut UU No 1 Tahun 1974


Yang dimaksud dengan perkawinan campuran dalam UU ini adalah :
“ Perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia. “
Pasal 57 UU No. 1 Tahun 1974 )
Kemudian Pasal 59 ayat (2) UU No 1 Tahun 1974 mengatakan bahwa bagi perkawinan campuran yang dilakukan di Indonesia dilakukan menurut UU No 1 Tahun 1974 ini. Mengenai prosedur perkawinan campuran diatur dalam Pasal 60 UU No. 1 Tahun 1974. Perkawinan campuran baru dapat dilaksanakan jika para pihak telah memenuhi syarat – syarat perkawinan sebagaimana telah ditentukan oleh hukum yang berlaku bagi pihak masing – masing telah di penuhi.  Hal ini harus dibuktikan dengan surat keterangan dari mereka yang menurut hukum yang berlaku berwenang mencatat perkawinan. Jika pejabat yang bersangkutan menolak  untuk memberikan surat keterangan itu, maka atas permintaan yang berkepentingan, Pengadilan memberikan keputusan dengan tidak beracara serta tidak boleh dimintakan banding lagi tentang soal apakah penolakan pemberian surat keterangan itu beralasan atau tidak. Jika Pengadilan memutuskan bahwa penolakan tidak beralasan, maka keputusan itu menjadi pengganti keterangan. Dari perumusan Pasal 57 UU No. 1 Tahun 1974 dapat dilihat bahwa pengertian perkawinan campuran mengalami penyempitan. Perkawinan campuran menurut UU No. 1 Tahun 1974 hanya meliputi perkawinan antara warga negara Indonesia dengan warga Negara asing. Perkawinan beda agama tidak lagi termasuk ke dalam pengertian perkawinan campuran.

Di dalam UU No. 1 Tahun 1974 tidak terdapat Pasal yang jelas – jelas mengatur perkawinan beda agama secara eksplisit. Menurut Pasal 2 (1), perkawinan sah apabila menurut agama dan kepercayaan masing – masing pihak. Artinya, selama perkawinan dilangsungkan menurut syarat dan cara yang ditentukan hukum agama serta tidak melanggar larangan perkawinan menurut hukum agama, maka perkawinan tersebut sah. Dan sebaliknya, jika perkawinan dilakukan tidak sesuai dengan syarat dan tata cara yang ditentukan oleh hukum agama atau melanggar larangan perkawinan menurut agamanya, maka perkawinan tersebut tidak sah.

 Pasal 8 huruf f UU No. 1 Tahun 1974 menyatakan  :
“Mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku, dilarang kawin. Prof. Hazairin menafsirkan Pasal 8 huruf f tersebut beserta penjelasannya bahwa bagi orang Islam tidak ada kemungkinan untuk kawin dengan melanggar hukum agamanya sendiri, demikian juga bagi orang Kristen, Katholik, Hindu, Budha dan Konghucu.
Terdapat beberapa penafsiran mengenai Perkawinan Beda Agama berdasarkan UU Perkawinan, yaitu :
·         Perkawinan beda agama merupakan pelanggaran terhadap Pasal 2 ayat (1) jo. Pasal 8 huruf f  UU No. 1 Tahun 1974.
·         Perkawinan antar agama sama sekali tidak diatur dalam UU No. 1 Tahun 1974 , oleh karena itu berdasarkan Pasal 66 No. 1 Tahun.
Pendapat yang tepat berada pada point nomor satu. Apabila perkawinan beda agama merupakan pelanggaran terhadap Pasal 2 ayat (1) jo. Pasal 8 huruf f UU No. 1 Tahun 1974, maka instansi baik KUA dan Kantor Catatan Sipil dapat menolak permohonan perkawinan beda agama berdasarkan pada Pasal 2 ayat (1) jo. Pasal 8 huruf f UU No. 1 Tahun 1974, yang menyatakan bahwa perkawinan adalah sah jika dilakukan menurut hukum masing – masing agamanya dan kepercayaannya itu. Dalam penjelasan Pasal 2 ayat (1), maka tidak ada perkawinan di luar hukum agama dan kepercayaannya itu.

Perkawinan beda agama tidak bisa merujuk pada ketentuan GHR. Apabila di lihat Pasal 66 UU No. 1 Tahun 1974 bahwa sebenarnya ketentuan GHR tidak dapat diberlakukan lagi. GHR mengandung asas yang bertentangan dengan keseimbangan kedudukan hukum antara suami istri sebagaimana diatur oleh UU No. 1 Tahun 1974. GHR sebagaiman KUH Perdata hanya mengenal konsep perkawinan sipil yang sifatnya sekuler, sedangkan UU No. 1 Tahun 1974 memandang perkawinan memiliki hubungan erat dengan Agama.

Dengan demikian jelas bahwa UU No. 1 Tahun 1974 telah menutup pintu bagi terjadinya perkawinan beda agama jika memang agama yang dianut melarang terjadinya hal tersebut seperti dalam penjelasan Pasal 2 ayat (1).

Indonesia adalah Negara yang dikenal kemajemukannya dalam adat – istiadat, budaya dan Agama. Kebebasan beragama di Indonesia juga dijamin oleh Konstitusi pada Pasal 29 ayat (1) UUD 1945. Salah satu sorotan utama dalam sistem pergaulan di masyarakat terkait dengan keberadaan agama adalah tentang perkawinan antar umat beragama atau perkawinan beda agama. Perkawinan beda agama dapat diartikan sebagai perkawinan yang dilaksanakan oleh sepasang calon suami istri yang berbeda agama atau keyakinan pada saat melangsungkan perkawinan. UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tidak secara tegas dan eksplisit mentukan apakah perkawinan beda agama di bolehkan atau dilarang. Hal ini dikarenakan UU No. 1 Thaun 1974 menggunakan norma penunjuk ( verwijzingsgregel ) pada hukum agama dan kepercayaan masing – masing. Oleh karena itu pera penegak hukum di badan peradilan maupun lembaga pencatat perkawinan sering tidak konsisten dalam menyelesaikan persoalan perkawinan beda agama ini karena bergantung pada penafsiran agama dan hukum yang berbeda – beda.

Tata Cara Perkawinan Beda Agama Dalam Praktek
Tidak diaturnya perkawinan beda agama secara eksplisit dalam UU No. 1 Tahun 1974 menyebabkan perbedaan interpretasi terhadap Pasal 2 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974. Hal tersebut menyebabkan ketidakpastian hukum bagi pasangan yang melakukan perkawinan beda agama sedangkan perkawinan beda agama di Indonesia tidak dapat dihindarkan sebagai akibat keadaan masyarakat yang heterogen. Penulis berpendapat dengan adanya Pasal 2 ayat (1) jo. Pasal 8 huruf f UU No. 1 Tahun 1974 sebenarnya tidak menghendaki terjadinya perkawinan beda agama.

Untuk dapat mencatatkan perkawinan beda agama, menurut Prof. Wahyono  Darmabrata ada empat cara yang biasa di tempuh oleh para pihak yang ingin melangsungkan perkawinan beda agama :
1.      Meminta penetapan pengadilan . Pasal 21 ayat (1) – (4) UU No. 1 Tahun 1974 menjelaskan bahwa jika pegawai pencatan perkawinan berpendapat bahwa perkawinan tersebut ada larangan menurut UU ini, maka ia akan menolak melangsungkan perkawinan. Didalam hal penolakan, maka permintaan salah satu pihak yang ingin melangsungkan perkawinan oleh pegawai pencatat perkawinan akan diberikan suatu keterangan tertulis dari penolakan tersebut disertai alasan – alasan penolakannya. Para pihak yang perkawinannya ditolak berhak mengajukan permohonan kepada Pengadilan da dalam wilayah mana pegawai pencatat perkawinan yang mengadakan penolakan berkedudukan untuk memberikan keputusan, dengan menyerahkan surat keterangan penolakan diatas. Pengadilan akan memeriksa perkaranya dengan acara singkat dan akan memberikan ketetapan, apakah ia akan menguatkan penolakan tersebut atau memerintahkan agar perkawinan dilangsungkan.
2.      Perkawinan dilangsungkan dua kali menurut masing – masing agamanya. Dengan melangsungkan perkawinan dua kali menurut agama calon suami dan istri diharapkan pegawai pencatat perkawinan menganggap bahwa ketentuan Pasal 2 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 dapat dipenuhi. Prof. Wahyono berpendapat bahwa perkawinan yang berlaku bagi mereka adalah perkawinan yang dilangsungkan belakangan. Hal ini dikarenakan perkawinan yang dilakukan belakangan otomatis membatalkan perkawinan  yang dilangsungkan sebelumnya.
3.      Penundukan sementara terhadap salah satu agama. Penundukan sementara ini biasanya diperkuat dengan mengganti status agama yang dianut di Kartu Tanda Penduduk. Namun, setelah perkawinan berlangsung pihak yang melakukan penundukan agama kembali ke agama semula. Hal ini merupakan penyelundupan hukum karena dilakukan untuk menghindari ketentuan hukum nasional mengenai perkawinan yang seharusnya berlaku bagi dirinya.
4.      Melangsungkan perkawinan di luar negeri. Pasal 56 UU Perkawinan menyatakan bahwa perkawinan yang dilakukan di luar Indonesia atau seorang warga Negara Indonesia dengan warga Negara asing adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum yang berlaku di Negara di mana perkawinan itu dilangsungkan dan bagi warga Negara Indonesia tidak melanggar ketentuan – ketentuan UU ini. Selanjutnya disebutkan bahwa dalam waktu 1 tahun setelah suami istri tersebut kembali ke Indonesia, surat bukti perkawinan mereka harus didaftarkan di Kantor Pencatatan perkawinan tempat tinggal mereka. Namun sebenarnya cara ini tidak dapat menjadi pembenaran dilangsungkan perkawinan beda agama. Karena sesuai Pasal 56 UU No. 1 Tahun 1974 perkawinan tersebut baru sah apabila warga Negara Indonesia tidak melanggar ketentuan UU No. 1 Tahun 1974.

 
Contoh Kasus
Perkawinan Beda Agama antara Petrus Nelwan (Protestan) dengan Andi Vonny Gani (Islam)
 
Petrus Nelwan ( pria ) yang beragama Kristen Protestan hendak melangsungkan pernikahan dengan Andi Vonny Gani ( wanita ) yang beragama Islam. Keinginan mereka untuk melangsungkan perkawinan ditolak baik oleh Kantor Urusan Agama ( KUA ) Kecamatan Tanah Abang dan Kantor Catatan Sipil DKI Jakarta. KUA Tanah Abang menolak dengan alasan pihak laki-laki beragama Kristen Protestan. Kantor Catatan Sipil DKI Jakarta menolak dengan alasan pihak perempuan beragama Islam. Karena hal itu mereka mengajukan permohonan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan mohon agar penolakan dari kedua instansi tersebut dinyatakan tidak beralasan.
·         Penetapan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (No. 382/Pdt/P/1986 tanggal 20 januari 1989 )
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dalam penetapannya menyatakan  penolakan dari KUA  Kecamatan Tanah Abang dan Kantor Catatan Sipil DKI Jakarta adalah tepat dan beralasan karena perkawinan beda agama tidak diatur dalam Undang-Undang nomor 1 tahun 1974. Ajaran agama Islam dan Kristen Protestan tidak membenarkan perkawinan beda agama sedangkan pasal 2 pasal (1) Undang-undang nomor 1 tahun 1974  jo pasal 8 Peraturan Pemerintah nomor 9 Tahun 1975 pada pokoknya menyatakan perkawinan adalah sah jika dilakukan menurut hukum agama dan kepercayaannya masing-masing. Karena itu tidak ada lagi perkawinan diluar hukum agama dan kepercayaan masing-masing. Terhadap putusan ini Petrus Nelwan dan Andi Vonny Gani merasa tidak puas dan mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung.
·         Putusan Mahkamah Agung
Mahkamah Agung membatalkan Penetapan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat sejauh mengenai penolakan melangsungkan perkawinan oleh Kantor Catatan Sipil DKI Jakarta yang tercantum dalam surat penolakan No. 651/1. 1755. 4/CS/1986. Mahkamah Agung memerintahkan Pegawai Pencatat pada Kantor Catatan Sipil DKI Jakarta untuk melangsungkan perkawinan antara Petrus Nelwan dan Andy Vonny Gani. Pertimbangan hukum Mahkamah Agung pada pokoknya adalah sebagai berikut :

1.      Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tidak memuat ketentuan yang menyebutkan bahwa perbedaan agama antara calon suami dan calon istri sebagai larangan perkawinan. Hal ini sejalan dengan Pasal 27 Undang-Undang Dasar 1945 yang menetukan bahwa semua warga Negara bersamaan kedudukannya dalam hukum dimana di dalamnya terdapat kesamaan hak asasi untuk kawin dengan sesama warga Negara sekalipun keduannya berlainan agama. Selama dalam Undang-Undang tidak ditentukan bahwa perbedaan agama merupakan larangan untuk melangsungkan perkawinan maka hal tersebut juga sejalan dengan jiwa pasal 29 Undang-Undang Dasar 1945 tentang dijaminnya kemerdekaan setiap warga Negara untuk memeluk agama masing-masing. Undang-undang nomor 1 tahun 1974 tidak mengatur perkawinan beda agama.
2.      Pasal 66 Undang-undang nomor 1 tahun 1974 yang menurut kata-katanya sepanjang tidak diatur oleh Undang-undang nomor 1 tahun 1974 dapat memberlakukan GHR kembali nyatanya tidak dapat dipakai. Hal ini karena terdapat perbedaan prinsip maupun filosofis yang amat lebar antara Undang-undang nomor 1 tahun 1974 dan GHR (HOCI dan KUHPerdata). Undang-undang nomor 1 tahun 1974 memandang perkawinan memiliki hubungan erat dengan agama/kerohanian sehingga tidak ada perkawinan diluar hukum agama dan kepercayaanya masing-masing. Sedangkan ketentuan dalam GHR memandang perkawinan hanya dalam hubungan keperdataan saja.

Dengan demikian didalam Undang-undang nomor 1 tahun 1974 terdapat kekosongan hukum mengenai perkawinan beda agama. Masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang pluralistic sehingga niat untuk melangsungkan perkawinan beda agama akan selalu ada. Karena itu harus dicarikan pemecahannya. Membiarkan masalah ini berlarut-larut akan menimbulkan dampak negative berupa penyelundupan nilai-nilai sosial, agama maupun hukum positif. Maka dari itu harus ditentukan dan ditemukan hukumnya.

Harus dapat ditentukan dimana perkawinan dilangsungkan. Karena calon Istri beragama Islam dan calon suami beragam Kristen Protestan maka tidak mungkin perkawinan dilangsungkan di KUA. Karena itu penolakan KUA adalah tepat walaupun pertimbangan hukumnya tidak dapat dibenarkan.

Kedua mempelai telah berusia lebih dari 21 tahun sehingga tidak diperlukan izin dari orang tua. Selain itu ayah kandung dari Andy Vonny Gani member izin anaknya melangsungkan perkawinan dengan Petrus Nelwan. Dari surat kedua mempelai ke Mahkamah Agung tanggal 19 April 1986 keduanya tetap ingin melangsungkan perkawinan.

Dengan diajukan pemohonan untuk melangsungkan perkawinan di Kantor Catatan Sipil DKI Jakarta harus ditafsirkan bahwa permohon Andy Vonny Gani berkehendak melangsungkan perkawinan tidak secara Islam. Andy Vonny Gani tidak lagi menghiraukan status agamanya (agama Islam) sehingga pasal 8 huruf f undang-undang perkawinan nomor 1 tahun 1974 tidak lagi merupakan halangan untuk melangungkan perkawinan. Karena itu Kantor catatan Sipil merupakan satu-satunya instansi yang berwenang untuk melangsungkan atau membantu melangsungkan perkawinan yang kedua calon suami dan istri tidak beragama Islam wajib menerima permohonan pemohon.

Putusan Mahkamah Agung No. 1400/K/Pdt/1986 mengenai kasus Andy Vonny gani dan Petrus Nelwan ini banyak dijadikan acuan bagi pihak-pihak yang ingin melangsungkan perkawinan beda agama namun permohonannya untuk melangsungkan perkawinan ditolak oleh KUA maupun Kantor Catatan Sipil. Namun demikian perkawinan Andy Vonny Gani dan Petrus Nelwan seharusnya menjadi perkawinan beda agama terakhir yang dilangsungkan di Kantor Catatan Sipil terutama di Kantor Catatan Sipil DKI Jakarta.


Analisis Masalah

Pernikahan antara Warga Negara Indoneisia yaitu Petrus Nelwan ( Pria Protestan ) dengan Andi Voni Gani ( Wanita Islam ) merupakan salah satu kasus Hukum Perselisihan, karena melibatkan dua orang yang status hukumnya berbeda, yaitu perbedaan agama. Untuk menentukan apakah peristiwa hukum tersebut termasuk hukum perselisihan serta hukum mana yang dipakai untuk peristiwa hukum tersebut terlebih dahulu kita harus menentukan dua titik taut. Titik taut adalah bertemunya dua kaidah atau dua sistem hukum yang pada mulanya terpisah dan berbeda, Disebabkan berbagai faktor, dua atau lebih kaidah atau sistem hukum bertemu pada satu titik singgung.[29]

Titik Taut Primer dari peristiwa hukum antara  Petrus Nelwan ( Pria Protestan ) dengan Andi Voni Gani ( Wanita Islam )

Peristiwa hukum antara Petrus Nelwan dan Andi Voni Gani berupa Perkawinan Beda Agama termasuk materi Hukum Perselisihan, karena antara subjek hukum terdapat perbedaan agama. Perbedaan agama merupakan titik taut primer yang paling menonjol, karena perbedaan kepercayaan antara dua orang yang melakukan suatu hubungan hukum adalah salah satu dasar terjadinya hukum antar agama.  Bila agama masing – masing subjek hukum berbeda, maka sudah dapat dipastikan bahwa ini tergolong kepada permasalahan hukum antar agama. Perbedaan agama antara mereka, yakni Petrus Nelwan ( Pria ) menganut agama Protestan, sedangkan Andi Voni Gani ( wanita ) menganut agama Islam.

Menurut Soediman Kartohadiprodjo, hukum perselisihan (Hukum Antar tata Hukum) adalah keseluruhan asas dan kaidah yang menentukan hukum manakah atau hukum apakah yang akan berlaku apabila dalam suatu peristiwa hukum terpaut lebih dari satu sistem hukum.

Dalam peristiwa hukum berupa perkawinan antara Petrus Nelwan dan Andi Voni Gani terpaut dua sistem hukum yang berbeda antara kedua belah pihak, maka harus ditentukan hukum mana yang berlaku untuk perkawinan mereka melalui asas dan kaidah Hukum Perselisihan.

Pada masa berlakunya Undang – Undang Perkawinan Campuran ( GHR ) yang termuat dalam Staatsblad 1898 Nomor 158 dan menurut pendapat ahli hukum dan yurisprudensi, yang dimaksud perkawinan campuran adalah perkawinan antara seorang laki – laki dan seorang perempuan yang tunduk pada hukum yang berbeda. 

Indikator – indikator pembeda dalam Hukum Perselisihan (Hukum Antar tata Hukum), yaitu :
a.       Golongan Rakyat, dalam Hukum Antar Golongan. Maksudnya, apabila para pihak melakukan hubungan hukum itu berasal dari golongan yang berbeda ( Pasal 131 dan 163 IS : Golongan Eropa, Golongan Timur Asing dan Golongan Pribumi ).
b.      Agama masing – masing pihak, dalam Hukum Antar Agama.
c.       Adat atau Hukum Adat para pihak, dalam Hukum Antar Adat.
d.      Tanah jajahan yang berlainan dari Negara penjajah yang sama, dalam Hukum Antar Regio.

Titik Taut Sekunder dari peristiwa hukum antara  Petrus Nelwan ( Pria Protestan ) dengan Andi Voni Gani ( Wanita Islam )

Titik taut sekunder atau indikator yang menentukan hukum mana yang berlaku bagi peristiwa hukum antara Petrus Nelwan dan Andi Voni Gani, dapat ditentukan melalui faktor – faktor dibawah ini, namun merujuk pada analisis terhadap faktor – faktor tersebut ternyata seharusnya Petrus Nelwan dan Andi Voni Gani seharusnya tidak dapat melangsungkan perkawinan ( walaupun kenyataannya di ijinkan melalui Putusan Mahkamah Agung 1986 ). Alasannya diuraikan di bawah ini ;
Faktor kehendak dan maksud para pihak.
Dalam undang – undang perkawinan Indonesia No. 1 th 1974 menyebutkan bahwa setiap perkawinan sah bila sesuai dengan ketentuan agama masing – masing.
Pasal 2 UU No 1 Tahun 1974 :
1.      Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing – masing agamanya dan kepercayaannya itu,
2.      Tiap – tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang – undangan yang berlaku.
Pada kasus ini, baik sang lelaki maupun sang wanita sama – sama dilarang agamanya untuk menikah dengan orang beda agama, yang berarti bila mereka tetap menikah, pernikahan mereka tetap akan dikategorikan tidak sah. Jadi, dalam hal faktor kehendak dan maksud para pihak, mereka tidak bisa memilih salah satu hukum agama antara kedua belah pihak untuk pernikahan mereka. Pernikahan mereka akan berlanjut bila saja salah satu dari mereka pindah agama, sehingga sama dengan agama pasangannya.

Dalam kasus ini, pihak wanita ( Andi Voni Gani ) beragama Islam dan pihak pria beragama Protestan. Dalam ketentuan Agama Islam, terdapat larangan perkawinan antara wanita muslim dengan pria non-muslim, berikut ini penjelasan dan dasar hukumnya :
·          Perkawinan antara seorang wanita muslimah dengan pria non-muslim
Ulama telah sepakat bahwa Islam melarang perkawinan antara seorang wanita muslimah dengan pria non-muslim, baik calon suaminya itu pemeluk agama Kristen dan Yahudi atau  pemeluk agama yang mempunyai kitab serupa kitab suci, seperti Budhisme, Hinduisme maupun pemeluk agama atau kepercayaan yang tidak mempunyai kitab suci dan juga kitab yang serupa kitab sucinya. Termasuk pula di sini penganut Animisme, Atheisme, Politheisme, dsb. Adapun dalil dan dasar hukumnya adalah QS. Al-Baqarah : 221, QS. Al-Mumtahanah : 10, dan AQ. Al-Maidah : 5.


Demikian juga dalam Agama Protestan, terdapat larangan perkawinan beda agama. Berikut ini penjelasannya ;
Gereja Protestan menganjurkan kepada pengikutnya mencari pasangan hidup yang seiman. Tetapi dalam keadaan darurat Gereja Protestan mengijinkan perkawinan antara orang–orang yang berbeda agama asal memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh Gereja, seperti GKI (Gereja Kristen Indonesia) menetapkan antara lain :
Bagi yang beragama Protestan menandatangani perjanjian sebagai berikut :
·         Tetap melaksanakan iman Kristen nya
·         Akan membaptis anak – anak yang lahir dari perkawinannya itu secara Kristen
·         Berjanji akan mendidik anak – anak mereka secara Kristen
·         Bagi yang bukan beragama Protestan, harus menandatangani surat permohonan bahwa ia :
·         Tidak keberatan perkawinan dilaksanakan di Gereja Protestan
·         Tidak keberatan anak – anak mereka dididik secara Kristen Protestan

Kalau dibandingkan perkawinan antara orang yang beragama Kristen dengan orang yang bukan beragama Kristen, katakanlah beragama Islam, Gereja Kristen Protestan lebih menyukai perkawinan antara pemeluk agama Kristen dengan pemeluk agama Katholik. Ini disebabkan karena agama Kristen Protestan memandang perkawinan dengan pemeluk Katholik, sesungguhnya bukanlah perkawinan antara orang – orang yang berbeda agama tetapi perkawinan mereka antara orang – orang yang berbeda Gereja, karena pemeluk agama ini ( Protestan dan Katholik ) mempunyai kitab suci yang sama dan masih dipersatukan dalam “ Satu Tubuh Yesus Kristus ”, seperti telah disinggung diatas, dan mempunyai misi yang sama pula ( Daud Ali, 1992 : 68 – 69 ).

Di dalam UU No. 1 Tahun 1974 tidak terdapat Pasal yang jelas – jelas mengatur perkawinan beda agama secara eksplisit. Menurut Pasal 2 (1), perkawinan sah apabila menurut agama dan kepercayaan masing – masing pihak. Artinya, selama perkawinan dilangsungkan menurut syarat dan cara yang ditentukan hukum agama serta tidak melanggar larangan perkawinan menurut hukum agama, maka perkawinan tersebut sah. Dan sebaliknya, jika perkawinan dilakukan tidak sesuai dengan syarat dan tata cara yang ditentukan oleh hukum agama atau melanggar larangan perkawinan menurut agamanya, maka perkawinan tersebut tidak sah.
Pasal 8 huruf f UU No. 1 Tahun 1974 menyatakan  :
“ Mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku,
dilarang kawin. “
Prof. Hazairin menafsirkan Pasal 8 huruf f tersebut beserta penjelasannya bahwa bagi orang Islam tidak ada kemungkinan untuk kawin dengan melanggar hukum agamanya sendiri, demikian juga bagi orang Kristen, Katholik, Hindu, Budha dan Konghucu.

Dalam kasus perkawinan antara Andi Voni Gani dan Petrus Nelwan, menurut agama pihak wanita (Andi Voni Gani) ia tidak boleh kawin dengan pria non-muslim. Jika di hubungkan dengan Pasal 8 huruf f UU No. 1 Tahun 1974 bahwa perkawinan di larang apabila mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku di larang kawin, maka seharusnya mereka dilarang kawin, karena berdasarkan ketentuan agamanya. Karena Undang – undang nomor 1 Tahun 1974 menyerahkan syarat sah perkawinan kepada hukum agamanya masing – masing.
Peranan Kantor Catatan Sipil dalam Perkawinan Beda Agama
Jika kita berbicara mengenai perkawinan beda agama tentu tidak dapat dilepaskan dari Kantor Catatan Sipil. Lembaga ini dianggap sebagai satu – satunya institusi yang memungkinkan dilakukannya pencatatan perkawinan beda agama. Kewenangan Kantor Catatan Sipil dalam bidang perkawinan sebelum dan setelah berlakunya Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 seperti kita tahu mengalami perubahan. Dalam hal perkawinan beda agama perubahan kewenangan ini membawa dampak yang signifikan.

Sebelum berlakunya Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974, Kantor Catatan Sipil diberi kewenangan untuk melangsungkan dan mencatat perkawinan. Hal ini seperti kita ketahui ditegaskan dalam Pasal 81 KUHPerdata dan Pasal 100 KUHPerdata. Pada saat itu pelaksanaan perkawinan beda agama juga telah diatur dalam GHR. Perkawinan beda agama termasuk salah satu bentuk perkawinan campuran. Perbedaan agama, suku bangsa, dan keturunan bukan menjadi penghalang terjadinya suatu perkawinan. Pada waktu itu tidak ada masalah mengenai perkawinan beda agama. Kantor Catatan Sipil berwenang melangsungkan perkawinan beda agama sesuai dengan ketentuan – ketentuan dalam GHR.

Setelah berlakunya Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974, perkawinan beda agama menjadi suatu permasalahan tersendiri. Kantor Catatan Sipil tidak lagi menjadi penentu keabsahan perkawinan. Keabsahan perkawinan kini ditentukan oleh sah – tidaknya perkawinan tersebut mengenai hukum agama. Kantor Catatan Sipil kini hanya berwenang mencatatkan perkawinan dari pasangan suami istri non – Islam setelah sebelumnya mendapat pengesahan dari agama. Pasal 57 Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 juga telah mempersempit batasan perkawinan campuran hanya pada perkawinan antara seorang Warga Negara Indonesia dengan seorang Warga Negara Asing. Perkawinan beda agama tidak diatur secara eksplisit dalam Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974.

Pada prinsipnya Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 menyerahkan keabsahan perkawinan pada hukum agama sehingga ketika hukum agama memperkenankan terjadinya perkawinan beda agama, maka hal tersebut tidak akan menjadi masalah. Agama – agama yang dianut oleh masyarakat Indonesia hamper seluruhnya menganggap perkawinan endogami agama merupakan perkawinan ideal. Dalam praktek ada juga agama yang mau mengesahkan perkawinan antar agama tertentu dengan persyaratan – persyaratan atau dispensasi. Jika hal ini terjadi, maka Kantor Catatan Sipil berwenang untuk mencatatkan perkawinan tersebut. Namun begitu, pengecualian tersebut jarang terjadi dan jika terjadi persyaratan – persyaratan yang harus dilakukan juga amat ketat. Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 menghendaki perkawinan endogami agama.

Keadaan masyarakat Indonesia yang heterogen membuat perkawinan beda agama merupakan hal yang tak mungkin dihindarkan. Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 merupakan benturan bagi pasangan yang berniat melakukan perkawinan beda agama. Jika hukum agama tidak mau mengesahkan perkawinan beda agama, maka KUA maupun Kantor Catatan Sipil tidak berhak untuk melakukan pencatatan perkawinan beda agama tersebut. Sepanjang agama yang dianut oleh masing – masing mempelai tidak memperkenankan umatnya menikah secara berlainan agama dan kemudian tidak mau melangsungkan atau memberkati perkawinan mereka, maka berdampak kemudian pemerintah yaitu KUA dan Kantor Catatan Sipil tidak dapat mencatat perkawinan mereka, karena menganggap peristiwa perkawinan belum terjadi ( belum sah ).

Kemudian apabila ada salah satu agama dari mempelai perkawinan campuran yang berbeda agama melangsungkan pengesahan atau pemberkatan perkawinan, jika antar mempelai yang berbeda agama itu, dua – duanya bukan beragama Islam, maka Kantor Catatan Sipil melaksanakan pencatatan perkawinan mereka sesuai dengan pengesahan salah satu agama. Tetapi jika salah satunya beragama Islam, maka sekalipun perkawinan mereka telah dilangsungkan menurut hukum dan tata cara salah satu agama yang lain seperti oleh agama Hindu, Budha, Kristen, Katolik, dan Konghucu, tetap saja Kantor Catatan Sipil tidak dapat mencatatkan perkawinan tersebut, oleh karena perundang – undangan catatan sipil sampai saat ini tidak menyediakan daftar perkawinan untuk orang Islam. Pada waktu sebelum berlakunya Undnag – Undang Nomor 1 Tahun 1974, kasus seperti ini diselesaikan melalui penundukan diri pada hukum Perdata Barat, tapi saat ini penundukan diri pada hukum Perdata Barat sudah tidak diberlakukan lagi. Sebelum dan setelah berlakunya Undang – Undang Nomor1 Tahun 1974 telah terjadi beberapa kasus perkawinan beda agama yang dicatatkan di Kantor Catatan Sipil.

Sejak 1 Januari 1989 Kantor Catatan Sipil terutama Kantor Catatan Sipil DKI Jakarta tidak lagi berfungsi mengawinkan. Hal ini termuat dalam instruksi Kantor Catatan Sipil DKI Jakarta No. 3614/075. 02 tanggal 30 Desember yang dalam angka 1 menyatakan :
“ Pencatatan Perkawinan baik di Kantor Catatan Sipil DKI Jakarta maupun Kantor Pembantu Catatan Sipil di lima wilayah kota, terhitung tanggal 1 Januari 1989 hanya melaksanakan pencatatan perkawinan yang sudah sah menurut agama (setelah melangsungkan perkawinan di Gereja, Vihara dan Pura) ”.

Ketentuan tersebut sejalan dengan Keputusan Presiden nomor 12 tahun 1983 tentang Penataan, Pembinaan, Penyelenggaraan Catatan Sipil yang pada pasal 1 ayat (2) menyatakan :
“ Kewenangan dan tanggung jawab di bidang Catatan Sipil : Menyelenggarakan pencatatan akta kelahiran, kematian, perkawinan dan perceraian bagi mereka yang bukan beragama Islam ”.

Terakhir pada tahun 1999 ketentuan ini di perkuat dengan Keputusan Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta nomor 15 tahun 1999 tentang Prosedur pelayanan masyarakat pada Kantor Catatan Sipil Propinsi DKI Jakarta yang pada pasal 15 ayat 1 menyatakan :
“ Setiap WNI dan WNA yang telah sah dilaksanakan oleh pemuka agama selain agama Islam, dicatatkan pada Kantor Catatan Sipil selambat-lambatnya 30 hari kerja sejak peristiwa perkawinan itu ”.

Dengan adanya instruksi tersebut maka kantor Catatan Sipil DKI Jakarta tidak lagi mengawinkan pasangan beda agama walaupun ada perintah dari pengadilan untuk melaksanakannya. Hal ini karena fungsi dari Kantor Catatan Sipil hanya mencatat perkawinan pasangan non-Islam yang telah diselenggarakan sesuai dengan hukum agamanya masing-masing.

Adapun pencatatan Akta Nikah terbitan Luar Negeri atau dokumen lainnya dalam hal ini adalah Pencatatan Pernikahan yang dilakukan di Luar Negeri, dapat dilakukan di Kantor Catatan Sipil setempat. Keadaan ini biasanya terjadi untuk perkawinan yang dilakukan di Luar Negeri antara Warga Negara Indonesia dan Warga Negara Asing dan ingin melaporkan pernikahan tersebut di Kantor Catatan Sipil, dikarenakan pihak tersebut ingin tinggal ataupun menetap di Indonesia.
Dasar hukumnya adalah:
1.      PP no 25 th 2008 tentang Persyaratan Dan Tata Cara Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil.
2.      Undang-Undang No 23 tahun 2006 tentang Kependudukan Pasal 37 ayat 4
3.      Tatacara Pencatatan berdasarkan: Peraturan Meneteri Dalam Negeri Nomor 12 Tahun 2010 Tenatang Pencatatan Perkawinan dan Pelaporan Akta Yang Diterbitkan Oleh Negara Lain BAB VI Pelaporan Akta Pencatatan Sipil Yang Diterbitkan Oleh Negara Lain Oleh Negara Lain.


BAB III
KESIMPULAN

Kesimpulan yang kami peroleh mengenai Perkawinan beda agama antara Andi Voni Gani dan Petrus Nelwan, yaitu :
1.      Titik Taut Primer
Perkawinan antara Petrus Nelwan ( Protestan ) dengan Andi Vonny Gani ( Islam ) termasuk dalam objek penelitian Hukum Perselisihan, karena melibatkan dua orang yang status hukumnya berbeda yaitu mereka berbeda agama. Perbedaan agama merupakan titik taut primer yang paling menonjol, karena perbedaan kepercayaan antara dua orang yang melakukan suatu hubungan hukum adalah salah satu dasar terjadinya hukum antar agama.  Bila agama masing – masing subjek hukum berbeda, maka sudah dapat dipastikan bahwa ini tergolong kepada permasalahan hukum antar agama.
2.      Titik taut sekunder
Indikator yang menentukan hukum mana yang berlaku bagi peristiwa hukum antara Petrus Nelwan dan Andi Voni Gani, dapat ditentukan melalui faktor – faktor dibawah ini, namun merujuk pada analisis terhadap faktor – faktor tersebut ternyata seharusnya Petrus Nelwan dan Andi Voni Gani seharusnya tidak dapat melangsungkan perkawinan ( walaupun kenyataannya di ijinkan melalui Putusan Mahkamah Agung 1986 ). Alasannya diuraikan di bawah ini ;
a.       Faktor kehendak dan maksud para pihak
Dalam undang – undang perkawinan Indonesia No. 1 th 1974 menyebutkan bahwa setiap perkawinan sah bila sesuai dengan ketentuan agama masing – masing. pada kasus ini, baik sang lelaki maupun sang wanita sama – sama dilarang agamanya untuk menikah dengan orang beda agama, yang berarti bila mereka tetap menikah, pernikahan mereka tetap akan dikategorikan tidak sah. Pernikahan mereka akan berlanjut bila saja salah satu dari mereka pindah agama, sehingga sama dengan agama pasangannya. Sehingga tidak bisa di pilih hukum di antara para pihak bagi perkawinan mereka.

b.      Faktor pilihan hukum
Pilihan hukum dapat terjadi dalam perkawinan campuran. Dalam Pasal 2 Ordonansi Kawin Campur ( GHR ) dikatakan bahwa ;
Seorang perempuan yang melakukan perkawinan campuran, selama perkawinan berlangsung, perempuan ( isteri ) baik public maupun privat mengikuti hukum suami.“
Hal itu mengingat perkawinan antara lelaki Indonesia Nasrani dengan perempuan Indonesia bukan Nasrani sesungguhnya merupakan perkawinan campuran, sehingga mestinya si perempuan Indonesia bukan Nasrani itu sejak perkawinan perlangsung, baik secara public atau privat mengikuti status suaminya.

Namun setelah berlakunya Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Perkawinan beda agama tidak bisa merujuk pada ketentuan GHR. Apabila di lihat Pasal 66 UU No. 1 Tahun 1974 bahwa sebenarnya ketentuan GHR tidak dapat diberlakukan lagi. GHR mengandung asas yang bertentangan dengan keseimbangan kedudukan hukum antara suami istri sebagaimana diatur oleh UU No. 1 Tahun 1974. GHR sebagaiman KUH Perdata hanya mengenal konsep perkawinan sipil yang sifatnya sekuler, sedangkan UU No. 1 Tahun 1974 memandang perkawinan memiliki hubungan erat dengan Agama.

Dengan demikian jelas bahwa UU No. 1 Tahun 1974 telah menutup pintu bagi terjadinya perkawinan beda agama jika memang agama yang dianut melarang terjadinya hal tersebut seperti dalam penjelasan Pasal 2 ayat (1).

Berikut ini perbandingan mengenai pengaturan Perkawinan Campuran dalam GHR dan UU No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan ;
1.      Perkawinan campuran menurut ketentuan GHR, bagi seorang perempuan jelas merupakan perbuatan hukum yang dapat mengubah status pribadi perempuan tersebut. Perkawinan berbeda agama juga termasuk ke dalam perkawinan campuran.
2.      Pengaturan perkawinan campuran, terdapat dalam Pasal 2 GHR :
“ Seorang perempuan yang melakukan perkawinan campuran, selama perkawinan berlangsung, perempuan ( isteri ) baik public maupun privat mengikuti hukum suami. “
Gagasan yang amat idealis dari norma Pasal 2 GHR itu sesungguhnya adalah asas persamarataan antara stelsel – stelsel hukum. Artinya, secara yuridis semua sistem hukum yang terdapat di Indonesia ( baik sistem hukum adat, sistem hukum islam, sistem hukum barat / BW, dll ) dianggap sederajat. Hal ini berarti perempuan harus mengikuti hukum suami dalam perbuatan publik maupun privat apabila ia melakukan perkawinan campuran, namun terdapat pengecualian Pasal 75 HOCI.
Pasal 7 ayat 2 GHR :
“Perbedaan agama, kebangsaan maupun pangkat tidak mungkin terjadi penghalang bagi dilangsungkannya perkawinan.“

Mengenai perkawinan antar agama apabila  kita teliti pasal-pasal dan penjelasan Undang Undang  Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, kita tidak menemukan ketentuan yang mengatur secara tegas mengenai masalah perkawinan antar agama. Apakah Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 tahun 1974 memperbolehkan atau melarang perkawinan antar agama?.

Menurut kami, untuk menjawab pertanyaan tersebut hanya ada dua pasal dalam UU Nomor 1 tahun 1974 tersebut yang dapat kita jadikan sebagai pedoman, yaitu :
1.      Pasal 2 ayat (1) UU Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan yang menyatakan bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya.
2.      Jadi apakah suatu perkawinan dilarang atau tidak, atau apakah para calon mempelai telah memenuhi syarat-syarat atau belum disamping tergantung kepada ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam UU Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan juga ditentukan oleh hukum agamanya masing-masing
Pasal 8 (f) UU Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan yang menyatakan bahwa perkawinan dilarang antara dua orang yang mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku , dilarang kawin.

Dari ketentuan pasal 8 (f) tersebut diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa disamping ada larangan-larangan yang secara tegas disebutkan didalam UU Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan dan peraturan-peraturan lainnya juga ada larangan-larangan yang bersumber dari hukum masing-masing agamanya.
Oleh karena didalam UU Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan tidak terdapat adanya larangan terhadap perkawinan antar agama, maka tahap terakhir yang menentukan ada tidaknya larangan terhadap perkawinan antar agama tersebut adalah hukum agama itu sendiri.

DAFTAR PUSTAKA


·         UU Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan

·         Keputusan Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta nomor 15 tahun 1999 tentang Prosedur pelayanan masyarakat pada Kantor Catatan Sipil Propinsi DKI Jakarta

·         PP no 25 th 2008 tentang Persyaratan Dan Tata Cara Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil.

·         Undang-Undang No 23 tahun 2006 tentang Kependudukan Pasal 37 ayat 4

·         Tatacara Pencatatan berdasarkan: Peraturan Meneteri Dalam Negeri Nomor 12 Tahun 2010 Tenatang Pencatatan Perkawinan dan Pelaporan Akta Yang Diterbitkan Oleh Negara Lain BAB VI Pelaporan Akta Pencatatan Sipil Yang Diterbitkan Oleh Negara Lain Oleh Negara Lain.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Featured Post

PENGERTIAN PERIKATAN

  HUKUM PERIKATAN Pengertian Dan Pembatasan Perikatan. Perikatan adalah terjemahan dari istilah aslinya dalam bahasa Bel...