PENGERTIAN
KAIDAH-KAIDAH HUKUM ISLAM
Kata
kaidah berasal dari bahasa Arab qa’idah ( القاعدة ). Oleh karena itu, kaidah-kaidah dalam bahasa Arab ialah
qawa’id. Kaidah-kaidah hukum islam merupakan terjemahan dari istilah bahasa
Arab ( القواعد الفقهية ).Qawa’id dalam
bahasa arab sehari-hari berarti fondasi atau landasan bangunan. Kata qawa’id
sperti ini dijumpai dalam al-qur’an surat al-baqoroh ayat 127 yang berbunyi:
Artinya :
Dan ingatlah ketika Ibrahim mendirikan (membina) dasar-dasar Baitullah beserta
Isma’il.
Dalam
perumusan hukum islam, kita mengenal dua macam kaidah yaitu kaidah fiqhiyah,
dan kaidah ushuliyah. Kaidah fiqhiyah merupakan Dasar-dasar yang bertalian
dengan hukum syar'i yang bersifat mencakup (sebahagian besar
bahagian-bahagiannya) dalam bentuk teks-teks perundang-undangan yang ringkas
(singkat padat) yang mengandung penetapan hukum-hukum yang umum pada
peristiwa-peristiwa yang dapat dimasukkan pada permasalahannya.
Kaidah
Fiqhiyah sebagaimana tersebut berfungsi untuk memudahkan para mujtahid atau
para fuqoha yang ingin mengistinbathkan hukum yang bersesuaian dengan tujuan
syara’ dan kemaslahatan manusia. Oleh karena itulah maka sangat tepat apabila
pembahasan tentang Kaidah Fiqhiyah ataupun Kaidah Hukum termasuk dalam
pembahasan Filsafat Hukum Islam, sebab Filsafat Hukum Islam adalah sebuah
metode berpikir untuk menetapkan hukum Islam dan sekaligus mencari jawaban ada
apa yang terkandung dibalik hukum Islam itu sendiri.
Sedangkan
kaidah ushuliyah adalah Dalil syara’ yang bersifat menyeluruh, universal, dan
global (kulli dan mujmal). Jika objek bahasan ushul fiqih antara lain adalah
qaidah penggalian hukum dari sumbernya, dengan demikian yang dimaksud dengan
qaidah ushuliyyah adalah sejumlah peraturan untuk menggali hukum. Qaidah ushuliyyah
itu umumnya berkaitan dengan ketentuan dalalah lafaz atau kebahasaan. Sumber
hukum adalah wahyu yang berupa bahasa, sementara qaidah ushuliyyah itu
berkaitan dengan bahasa. Dengan demikian qaidah ushuliyyah berfungsi sebagai
alat untuk menggali ketentuan hukum yang terdapat dalam bahasa (wahyu) itu.
KATEGORISASI HUKUM
ISLAM
1. Wajib:
ialah = suatu pekerjaan yang dirasa akan menenma siksa kalau tidak dikerjakan
dan dirasa akan menerima pahala jika dikerjakan. Contoh: menegakkan shalat lima
waktu sehari semalam, memelihara janazah.
2.
Wajib ain ialah suatu pekerjaan yang
wajib yang tidak terlepas seseorang darl. tuntutan jika dia sendiri tidak
menunaikannya, tidak dapat orang lain menggantikannya, seperti: shalat wajib,
puasa wajib, zakat, naik haji dan sebagainya.
3.
Waajib Kifayah atau Fardhu kifayah:
ialah suatu pekerjaan yang dimaksud oleh Agama akan ada dan terwujudnya; dengan
tidak dipentingkan pada orang yang mengerjakannya. Jika sudah dilaksanakan
pekerjaan tersebut, maka terlepaslah semuanya dari tuntutan dan jika tidak ada
pelaksanaan maka semuanya yang bertanggung-jawab berdosa dan dituntut. Contoh
wajib kifayah: memelihara orang mati, menegakkan peradilan, kehakiman dan
sebagainya.
4.
Mandub
atau Sunnat: menurut pengertian fiqih Islam ialah: sebuah anjuran mengerjakan
yang sifatnya tidak jazm (pasti), apabila dikerjakan mendapat pahala, namun
apabila ditinggalkan tidak berdosa.Contoh: puasa sunnat. Pekerjaan yang
mandub sering disebut: marghub fihi (pekerjaan yang disukai) atau mustahab (pekerjaan
yang kita suka mengerjakannya) atau tathawwu‘ (pekerjaan yang kita lakukan
bukati karena kewajiban tetapi atas kesukaan sendiri).
5.
Haram: tututan yang pasti untuk
meninggalkan sesuatu, apabila dikerjakan oleh seorang mukallaf maka mendapatkan
dosa, namun bila ditinggalkan mendapatkan pahala.contoh:
mencuri, menipu, makan bangkai dan sebagainya.
6.
Makruh: yakni sebuah tuntutan yang tidak
pasti (tidak jazm) untuk meninggalkan perbuatan tertentu (larangan mengerjakan
yang sifatnya tidak pasti), apabila dikerjakan tidak apa-apa, namun bila
ditinggalkan akan mendapatkan pahala dan dipuji.
7.
Mubah: bila dikerjakan atau ditinggalkan
tidak apa-apa, tidak mendapatkan pahala atau pun disiksa (sebuah pilihan antara
mengerjakan atau tidak). Misalnya, memilih menu makanan dan sebagainya. Contoh
mubah: makan pisang goreng, memakai dasi dan sebagainya.
8.
Sabab: ialah suatu keadaan yang oleh
Agama Islam atau oleh Syara` dijadikan pertanda dihadapkannya suatu titah
kepada mukallaf, seperti tergelincirnya matahari menjadi sebab diwajibkannya
shalat dhuhur. Antara sebab dan hukum yang dihadapkan kepada mukallaf yaitu
antara tergelincirnya matahari dengan wajibnya shalat dhuhur samasekali tidak
terdapat kecocokan atau kemunasabahan. Apabila antara sabab dan hukum ada
pertautan atau kemunasabahan disebut Illat, misalnya: Pembunuhan menjadi sebab
adanya qisas. Di sini antara pembunuhan dan qisas terdapat kecocokan atau
kemunasabahan. Di sini sebab merupakan illat. Di samping itu pengertian ilIat
juga dimaksudkan kemaslahatan atau kemanfaatan yang dipelihara atau
diperhatikan, yang karenanya Syara` menyuruh atau mencegah sesuatu pekerjaan,
misalnya illat diharamkannya minum khamr sebab. memabukkan.
9.
Syarat:
ialah suatu pekerjaan atau suatu keadaan yang disuruh mengerjakan sebelum
mengerjakan suatu pekerjaan yang lain. Contoh : Berwudhu menjadi syarat bagi
shalat. Syarat yang demikian ini disebut Syarat Hakiki. Di samping itu ada
Syarat Ja`ly artinya syarat yang dibuat oleh orang dengan kata-kata misalnya:
Jika si A datang sebelum jam dua belas maka saya jual sepeda ini kepadamu
dengan harga yang telah kita setujui.
10. Rukun: ialah suatu bagian dari
suatu pekerjaan yang jika bagian itu tidak terdapat maka pekerjaan tersebut
menjadi batal atau rusak, misalnya: membaca takbiratul ihram adalah termasuk
rukun shalat, artinya jika shalat dikerjakan tanpa takbiratul ihram maka
batallah shalat itu.
11. Shah: ialah suatu pekerjaan yang
telah memenuhi syarat dan rukunnya dan dipandang sudah cukup stha tidak
diwajibkan mengulangi lagi, berarti terbebaslah orang yang menerima beban
pekerjaan itu dari tuntutan mengerjakan lagi.
12. Bathal: ialah suatu pekerjaan
yang tictax memenuhi syarat atau rukunnya atau di dalam melakukan pekerjaannya
itu kedatangan sesuatu hal yang menyebabkan rusaknya rukun atau syarat
tersebut, misalnya melakukan shalat sebelum bersuci atau mengerjakan shalat
sesudah bersuci tetapi di tengah-tengah shalat lalu kedatangan hal yang
menyebabkan rusaknya syarat, yaitu suci misalnya kentut, sehingga sebab sucinya
rusak maka rusaklah syaratnya maka menjadi rusaklah shalat itu dan shalatnya
menjadi batal. Juga apabila dalam menjalankan shalat tersebut tidak dipenuhi
salahsatu rukunnya misalnya tidak membaca takbiratul ihram, maka batallah
shalat tersebut.