Daerah
otonom adalah sebagi satuan pemerintahan yang mandiri yang memiliki wewenang
atributif, lebih-lbih sebagai subjek hukum (publick rechtpersoon publick
legal entity) berwenang membuat peraturan-peraturan untuk menyelenggarakan
rumah tangganya. Wewenang ini mengatur kepemerintahan daerah (pejabat
administrasi daerah) dan DPRD sebagai pemegang fungsi legislasi di daerah.[1]
Peraturan
daerah merupakan bentuk hukum yang tertulis yang berisi aturan tingkah laku
yang bersifat mengikat secara umum. Didalam masyarakat daerah, bentuk
peraturan daerah dibentuk dengan tujuan mengatur masyarakat daerah secara umum
agar dapat berperilaku sesuai dengan apa yang diharapkan agar dapat mendukung
penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan. Peraturan daerah adalah peraturan
perundang-undangan yang dibentuk oleh DPRD dengan persetujuan bersama Kepala
Daerah.[2]
Melalui amandemen UUD 1945 yang kedua, perda mendapatkan landasan
konstitusionalnya di dalam konstitusi yang keberadaannya digunakan untuk
melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan[3]
Salah satu dampak positif
berkembangnya ide otonomi daerah adalah menguatnya eksistensi Peraturan Daerah
(Perda), sebagai produk legislatif daerah yang memungkinkan pengembangan segala
potensi kekhasan daerah mendapat payung yuridis yang jelas. Sebagian kalangan
memandang Perda merupakan Local Wet, yang mempunyai prototipe yang sebangun
dengan Undang-Undang (Wet) di tingkat pusat. Dilihat dari ruanglingkup materi
muatan, cara perumusan, pembentukan dan pengundangannya, kedudukannya dalam
tata urutan (hirarkis) peraturan perundang-undangan (algemene verbindende
voorschriften) serta daya berlakunya sebagai norma hukum, sebagaimana
ditentukan dalam Undang-Undang No. 10 tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan, memang pandangan yang melihat hal ini sebagai produk hukum
yang mandiri tidak berlebihan. Namun demikian, pandangan ideal tentang Perda
tersebut seolah-olah “diciderai” oleh ketentuan Pasal 185 ayat (5)
Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, yang memberikan
kewenangan kepada Menteri Dalam Negeri (Mendagri) untuk membatalkan Perda
tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. Pertanyaan yuridis yang
mengemuka dari persoalan ini adalah berkenaan dengan validitas kewenangan
Mendagri tersebut dan pengaruhnya terhadap kedudukan Perda sebagai suatu produk
hukum apabila ditinjau dari politik hukum dan ilmu hukum pada umumnya. Makalah
ini terutama menyoroti masalah Politik Hukum Pembatalan Perda oleh Mendagri.
Tapi jika dilihat dari rezim hukum perundang-undangan, dasar hukum yang
dipergunakan Mendagri untuk melakukan pembatalan itu adalah salah secara hukum.
Tepatnya isi UU No 23 Tahun 2014 itu bertentangan dengan UU lain, yakni UU No
12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang- undangan yang bersumber
langsung dari UUD Negara Republik Indonesia (NRI) 1945. Menurut Pasal 24A UUD
NRI 1945, pengujian legalitas peraturan perundang-undangan di bawah UU terhadap
UU atau peraturan perundang undangan yang lebih tinggi dilakukan oleh MA.
Adapun pengujian konstitusionalitas UU terhadap UUD dilakukan Mahkamah
Konstitusi (MK).
Ketentuan yang demikian sudah dituangkan dengan tepat di dalam Pasal 9
UU No 12 Tahun 2011 yang menyatakan dugaan pertentangan UU dengan UUD diperiksa
dan diputus MK, sedangkan dugaan pelanggaran peraturan perundang-undangan di
bawah UU terhadap peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi diperiksa dan
diputus oleh MA. Seharusnya pembentuk UU No 23 Tahun 2014 tunduk pada ketentuan
konstitusi bahwa pembatalan atau pencabutan perda karena bertentangan dengan
peraturan perundangundangan yang lebih tinggi hanya bisa dilakukan melalui
judicial review oleh MA, bukan oleh menteri atau gubernur. Pembentuk UU tidak
boleh mencampur aduk antara kewenangan yudikatif dan pengawasan administratif.
UU Pemerintahan Daerah yang sebelumnya, yakni UU No 32 Tahun 2004, telah
mengatur masalah tersebut dengan cukup baik meskipun tidak juga sepenuhnya
tepat. Menurut Pasal 145 UU No 32 Tahun 2004, setiap perda yang sudah
diberlakukan harus disampaikan kepada pemerintah (pusat) paling lama 7 hari
sejak ditetapkan oleh legislator daerah. Dalam waktu 60 hari sejak disampaikan
oleh legislator daerah, pemerintah pusat bisa membatalkannya. Jika dalam kurun
waktu tersebut perda tidak dibatalkan oleh pemerintah pusat, maka ia menjadi
berlaku sepenuhnya. Ketentuan yang diatur di dalam UU No 32 Tahun 2004 itu
dapat dinilai lebih baik karena lebih memberi kepastian hukum terhadap perda.
Sebaliknya ketentuan berdasar UU No 23 Tahun 20014 yang tidak memberi batasan
waktu, kapan paling lama pemerintah pusat atau jenjang pemerintahan yang lebih
tinggi dibolehkan membatalkan perda, dapat menimbulkan ketidakpastian hukum.
Pembatalan itu bisa dilakukan kapan saja sewaktu-waktu pusat mau
melakukannya, termasuk karena ada insiden yang sebenarnya lebih merupakan soal
teknis pemerintahan. Maka itu sangatlah tepat apabila pembatalan perda yang
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tetaplah
hanya dilakukan oleh lembaga yudisial melalui judicial review di MA. Jika
diperlukan pencabutan perda di luar judicial review, ada jalan lain yang bukan
tindakan sepihak Mendagri, yakni mekanisme legislative review. Artinya
pembatalan itu dilakukan oleh legislator daerah melalui proses legislasi oleh
kepala daerah dan DPRD dengan mencabut atau menggantinya dengan perda baru yang
setara.
Dari segi materimuatan,
peraturan daerah adalah peraturan yang paling banyak menanggung beban. Sebagai
peraturan terendah dalam hierarki peraturan perundang-undangan[4],
perda secara teoritik memiliki tingkat fleksibilitas yang sempit karena tidak
boleh menyimpang dari sekat-sekat peraturan nasional yang ratusan jumlahnya
Prosedur yang demikian sama dengan prosedur executive review terhadap
peraturan perundang- undangan yang dibuat oleh pemerintah seperti peraturan
pemerintah, perpres, peraturan kepala daerah yang semuanya bisa dicabut sendiri
oleh lembaga yang membuatnya. Salah satu dampak positif berkembangnya ide
otonomi daerah adalah menguatnya eksistensi Peraturan Daerah (Perda), sebagai
produk legislatif daerah yang memungkinkan pengembangan segala potensi kekhasan
daerah mendapat payung yuridis yang jelas. Sebagian kalangan memandang Perda
merupakan Local Wet, yang mempunyai prototipe yang sebangun dengan
Undang-Undang (Wet) di tingkat pusat. Dilihat dari ruanglingkup materi muatan,
cara perumusan, pembentukan dan pengundangannya, kedudukannya dalam tata urutan
(hirarkis) peraturan perundang-undangan (algemene verbindende voorschriften)
serta daya berlakunya sebagai norma hukum, sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang
No. 10 tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, memang
pandangan yang melihat hal ini sebagai produk hukum yang mandiri tidak
berlebihan. Namun demikian, pandangan ideal tentang Perda tersebut seolah-olah
“diciderai” oleh ketentuan Pasal 185 ayat (5) Undang-Undang No. 32 Tahun 2004
Tentang Pemerintahan Daerah, yang memberikan kewenangan kepada Menteri Dalam
Negeri (Mendagri) untuk membatalkan Perda tentang Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah. Pertanyaan yuridis yang mengemuka dari persoalan ini adalah
berkenaan dengan validitas kewenangan Mendagri tersebut dan pengaruhnya
terhadap kedudukan Perda sebagai suatu produk hukum apabila ditinjau dari
politik hukum dan ilmu hukum pada umumnya. Makalah ini terutama menyoroti masalah
Politik Hukum Pembatalan Perda oleh Mendagri.
Data
yang diperoleh dari Departemen Keuangan, sampai Desember 2006 terdapat 9.617
Perda yang terkait dengan perizinan, pajak dan retribusi di daerah. Dari
sejumlah itu Departemen Keuangan sudah merekomendasikan kepada Departemen Dalam
Negeri untuk membatalkan 895 Perda yang terkait dengan pajak dan retribusi di
daerah. Sedangkan data yang diperoleh dari Departemen Dalam Negeri menunjukkan
bahwa sejak tahun 2002 sampai tahun 2007 perda yang dibatalkan baru berjumlah
761 Perda. Perda-perda yang dianggap bermasalah itu menimbulkan ekonomi biaya
tinggi di daerah serta juga membebani masyarakat dan lingkungan.[5]
[1] Bagir
Manan, Menyongsong Fajar Otonomi daerah, Yogyakarta, Pusat Studi Hukum Fakultas
Hukum Universitas indoonesia, hlm
70.
[2] Pasal
1 angka 7 UU No. 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Daerah
[3] Pasal
18 ayat (6) UUD 1945 amandemen ke 4.
[4] Dalam
Pasal 7 UU No. 10/2004 diurutkan tingkatan peraturan perundangan-undangan mulai
dari,
UUD, UU/Perpu, PP, Perpres, Perda. Selanjutnya Perda terdiri dari: Perda
Provinsi, Perda
Kabupaten/Kota, dan Peraturan Desa atau nama lainnya.
[5] Rikardo
Simarmata dan Stephanus Masiun, Otonomi Daerah, Kecenderungan Karakter Perda
dan
Tekanan Baru Bagi Lingkungan dan Masyarakat Adat, Seri Pengembangan
Wacana HuMa, No 1.
September 2002, hal 16. Tulisan itu pernah dipresentasikan pada acara
International Association
of Study on Common Property di Victoria all, Zimbabwe, 17-21 Juni 2002
Tidak ada komentar:
Posting Komentar