Kamis, 01 Desember 2016

Analisis Yuridis Terhadap Pembatalan Peraturan Daerah Oleh Mendagri Di Negara Indonesia



Daerah otonom adalah sebagi satuan pemerintahan yang mandiri yang memiliki wewenang atributif, lebih-lbih sebagai subjek hukum (publick rechtpersoon publick legal entity) berwenang membuat peraturan-peraturan untuk menyelenggarakan rumah tangganya. Wewenang ini mengatur kepemerintahan daerah (pejabat administrasi daerah) dan DPRD sebagai pemegang fungsi legislasi di daerah.[1]
Peraturan daerah merupakan bentuk hukum yang tertulis yang berisi aturan tingkah laku yang bersifat mengikat secara umum. Didalam  masyarakat daerah, bentuk peraturan daerah dibentuk dengan tujuan mengatur masyarakat daerah secara umum agar dapat berperilaku sesuai dengan apa yang diharapkan agar dapat mendukung penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan. Peraturan daerah adalah peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh DPRD dengan persetujuan bersama Kepala Daerah.[2] Melalui amandemen UUD 1945 yang kedua, perda mendapatkan landasan konstitusionalnya di dalam konstitusi yang keberadaannya digunakan untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan[3]
Salah satu dampak positif berkembangnya ide otonomi daerah adalah menguatnya eksistensi Peraturan Daerah (Perda), sebagai produk legislatif daerah yang memungkinkan pengembangan segala potensi kekhasan daerah mendapat payung yuridis yang jelas. Sebagian kalangan memandang Perda merupakan Local Wet, yang mempunyai prototipe yang sebangun dengan Undang-Undang (Wet) di tingkat pusat. Dilihat dari ruanglingkup materi muatan, cara perumusan, pembentukan dan pengundangannya, kedudukannya dalam tata urutan (hirarkis) peraturan perundang-undangan (algemene verbindende voorschriften) serta daya berlakunya sebagai norma hukum, sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang No. 10 tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, memang pandangan yang melihat hal ini sebagai produk hukum yang mandiri tidak berlebihan. Namun demikian, pandangan ideal tentang Perda tersebut seolah-olah “diciderai” oleh ketentuan Pasal 185 ayat (5) Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, yang memberikan kewenangan kepada Menteri Dalam Negeri (Mendagri) untuk membatalkan Perda tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. Pertanyaan yuridis yang mengemuka dari persoalan ini adalah berkenaan dengan validitas kewenangan Mendagri tersebut dan pengaruhnya terhadap kedudukan Perda sebagai suatu produk hukum apabila ditinjau dari politik hukum dan ilmu hukum pada umumnya. Makalah ini terutama menyoroti masalah Politik Hukum Pembatalan Perda oleh Mendagri.
Tapi jika dilihat dari rezim hukum perundang-undangan, dasar hukum yang dipergunakan Mendagri untuk melakukan pembatalan itu adalah salah secara hukum. Tepatnya isi UU No 23 Tahun 2014 itu bertentangan dengan UU lain, yakni UU No 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang- undangan yang bersumber langsung dari UUD Negara Republik Indonesia (NRI) 1945. Menurut Pasal 24A UUD NRI 1945, pengujian legalitas peraturan perundang-undangan di bawah UU terhadap UU atau peraturan perundang undangan yang lebih tinggi dilakukan oleh MA. Adapun pengujian konstitusionalitas UU terhadap UUD dilakukan Mahkamah Konstitusi (MK).
Ketentuan yang demikian sudah dituangkan dengan tepat di dalam Pasal 9 UU No 12 Tahun 2011 yang menyatakan dugaan pertentangan UU dengan UUD diperiksa dan diputus MK, sedangkan dugaan pelanggaran peraturan perundang-undangan di bawah UU terhadap peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi diperiksa dan diputus oleh MA. Seharusnya pembentuk UU No 23 Tahun 2014 tunduk pada ketentuan konstitusi bahwa pembatalan atau pencabutan perda karena bertentangan dengan peraturan perundangundangan yang lebih tinggi hanya bisa dilakukan melalui judicial review oleh MA, bukan oleh menteri atau gubernur. Pembentuk UU tidak boleh mencampur aduk antara kewenangan yudikatif dan pengawasan administratif.
UU Pemerintahan Daerah yang sebelumnya, yakni UU No 32 Tahun 2004, telah mengatur masalah tersebut dengan cukup baik meskipun tidak juga sepenuhnya tepat. Menurut Pasal 145 UU No 32 Tahun 2004, setiap perda yang sudah diberlakukan harus disampaikan kepada pemerintah (pusat) paling lama 7 hari sejak ditetapkan oleh legislator daerah. Dalam waktu 60 hari sejak disampaikan oleh legislator daerah, pemerintah pusat bisa membatalkannya. Jika dalam kurun waktu tersebut perda tidak dibatalkan oleh pemerintah pusat, maka ia menjadi berlaku sepenuhnya. Ketentuan yang diatur di dalam UU No 32 Tahun 2004 itu dapat dinilai lebih baik karena lebih memberi kepastian hukum terhadap perda. Sebaliknya ketentuan berdasar UU No 23 Tahun 20014 yang tidak memberi batasan waktu, kapan paling lama pemerintah pusat atau jenjang pemerintahan yang lebih tinggi dibolehkan membatalkan perda, dapat menimbulkan ketidakpastian hukum.
Pembatalan itu bisa dilakukan kapan saja sewaktu-waktu pusat mau melakukannya, termasuk karena ada insiden yang sebenarnya lebih merupakan soal teknis pemerintahan. Maka itu sangatlah tepat apabila pembatalan perda yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tetaplah hanya dilakukan oleh lembaga yudisial melalui judicial review di MA. Jika diperlukan pencabutan perda di luar judicial review, ada jalan lain yang bukan tindakan sepihak Mendagri, yakni mekanisme legislative review. Artinya pembatalan itu dilakukan oleh legislator daerah melalui proses legislasi oleh kepala daerah dan DPRD dengan mencabut atau menggantinya dengan perda baru yang setara.
Dari segi materimuatan, peraturan daerah adalah peraturan yang paling banyak menanggung beban. Sebagai peraturan terendah dalam hierarki peraturan perundang-undangan[4], perda secara teoritik memiliki tingkat fleksibilitas yang sempit karena tidak boleh menyimpang dari sekat-sekat peraturan nasional yang ratusan jumlahnya
Prosedur yang demikian sama dengan prosedur executive review terhadap peraturan perundang- undangan yang dibuat oleh pemerintah seperti peraturan pemerintah, perpres, peraturan kepala daerah yang semuanya bisa dicabut sendiri oleh lembaga yang membuatnya. Salah satu dampak positif berkembangnya ide otonomi daerah adalah menguatnya eksistensi Peraturan Daerah (Perda), sebagai produk legislatif daerah yang memungkinkan pengembangan segala potensi kekhasan daerah mendapat payung yuridis yang jelas. Sebagian kalangan memandang Perda merupakan Local Wet, yang mempunyai prototipe yang sebangun dengan Undang-Undang (Wet) di tingkat pusat. Dilihat dari ruanglingkup materi muatan, cara perumusan, pembentukan dan pengundangannya, kedudukannya dalam tata urutan (hirarkis) peraturan perundang-undangan (algemene verbindende voorschriften) serta daya berlakunya sebagai norma hukum, sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang No. 10 tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, memang pandangan yang melihat hal ini sebagai produk hukum yang mandiri tidak berlebihan. Namun demikian, pandangan ideal tentang Perda tersebut seolah-olah “diciderai” oleh ketentuan Pasal 185 ayat (5) Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, yang memberikan kewenangan kepada Menteri Dalam Negeri (Mendagri) untuk membatalkan Perda tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. Pertanyaan yuridis yang mengemuka dari persoalan ini adalah berkenaan dengan validitas kewenangan Mendagri tersebut dan pengaruhnya terhadap kedudukan Perda sebagai suatu produk hukum apabila ditinjau dari politik hukum dan ilmu hukum pada umumnya. Makalah ini terutama menyoroti masalah Politik Hukum Pembatalan Perda oleh Mendagri.
Data yang diperoleh dari Departemen Keuangan, sampai Desember 2006 terdapat 9.617 Perda yang terkait dengan perizinan, pajak dan retribusi di daerah. Dari sejumlah itu Departemen Keuangan sudah merekomendasikan kepada Departemen Dalam Negeri untuk membatalkan 895 Perda yang terkait dengan pajak dan retribusi di daerah. Sedangkan data yang diperoleh dari Departemen Dalam Negeri menunjukkan bahwa sejak tahun 2002 sampai tahun 2007 perda yang dibatalkan baru berjumlah 761 Perda. Perda-perda yang dianggap bermasalah itu menimbulkan ekonomi biaya tinggi di daerah serta juga membebani masyarakat dan lingkungan.[5]


[1] Bagir Manan, Menyongsong Fajar Otonomi daerah, Yogyakarta, Pusat Studi Hukum Fakultas
  Hukum  Universitas indoonesia, hlm 70.
[2] Pasal 1 angka 7 UU No. 10 tahun 2004  tentang Pembentukan Peraturan Daerah
[3] Pasal 18 ayat (6) UUD 1945 amandemen ke 4.
[4] Dalam Pasal 7 UU No. 10/2004 diurutkan tingkatan peraturan perundangan-undangan mulai dari,
   UUD, UU/Perpu, PP, Perpres, Perda. Selanjutnya Perda terdiri dari: Perda Provinsi, Perda
   Kabupaten/Kota, dan Peraturan Desa atau nama lainnya.
[5] Rikardo Simarmata dan Stephanus Masiun, Otonomi Daerah, Kecenderungan Karakter Perda dan  
  Tekanan Baru Bagi Lingkungan dan Masyarakat Adat, Seri Pengembangan Wacana HuMa, No 1.
  September 2002, hal 16. Tulisan itu pernah dipresentasikan pada acara International Association
  of Study on Common Property di Victoria all, Zimbabwe, 17-21 Juni 2002

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Featured Post

PENGERTIAN PERIKATAN

  HUKUM PERIKATAN Pengertian Dan Pembatasan Perikatan. Perikatan adalah terjemahan dari istilah aslinya dalam bahasa Bel...