AL AHKAM
AL KHAMSAH
Disebut juga hukum taklifi ada lima macam kaidah atau
lima kategori penilaian mengenai benda dan tingkah laku manusia dalam Islam:
◦Wajib
◦Sunnat
◦Haram
◦Makruh
◦Mubah
WAJIB
Wajib adalah suatu perbuatan yang dituntut Allah untuk dilakukan secara tuntutan pasti, yang diberi ganjaran dengan pahala bagi orang yang melakukannya dan diancam dosa bagi orang yang meninggalkannya karena bertentangan dengan kehendak yang menuntut.
Wajib adalah suatu perbuatan yang dituntut Allah untuk dilakukan secara tuntutan pasti, yang diberi ganjaran dengan pahala bagi orang yang melakukannya dan diancam dosa bagi orang yang meninggalkannya karena bertentangan dengan kehendak yang menuntut.
Wajib dapat dibagi dari beberapa segi ,dan diantaranya
adalah dari segi pelaksana atau pihak yang dituntut. Dari segi pihak yang
dituntut melaksanakan kewajiban, wajib terbagi dua, yaitu :
a. Wajib ‘Aini (kewajiban secara pribadi) : sesuatu yang
dituntut oleh syar’i (pembuat hukum) untuk melaksankannya dari setiap pribadi
dari pribadi mukallaf (subjek hukum).kewajiban itu harus dilaksanakan sendiri
dan tidak mungkin dilakukan oleh orang lain atau karena perbuatan orang lain:
Contoh
:1. Shalat 5 Waktu, setiap pribadi atau masing – masing pribadi mukallaf di
haruskan melaksanakan ibadah shalat sendiri dengan arti lain tidak mungkin
untuk mewakilkannya kepada orang lain, oleh sebab itulah shalat 5 waktu
merupakan salah satu perbuatan yang diwajibkan.
b. Wajib Kafa’i/ Kifayah (kewajiban bersifat kelompok) :
sesuatu yang dituntut oleh pembuat hukum melakukannya dari sejumlah mukallaf
dan tidak dari setiap pribadi mukallaf. Hal ini bebrarti bila sebagian atau
beberapa orang mukallaf telah tampil melaksanakan kewajiban itu dan telah
terlaksana apa yang dituntut, maka lepaslah orang lain dari tuntutan itu.
Tetapi bila tidak seorangpun melaksanakannya hingga apa yang dituntut itu
terlantar, maka berdosa semuanya.
Contoh
: 2. Shalat Jenazah, yang mana dalam pelaksanaan shalat jenazah ini tidak semua
mukallaf diwajibkan untuk melaksanakannya melainkan diperbolehkan hanya
sebagian dari sekumpulan mukallaf. Akan tetapi bila tidak seorangpun
melaksanakannya atau mengabaikannya maka semuanya akan mendapat dosa.
SUNNAH
Sunnah adalah sesuatu yang dituntut untuk
memperbuatnya secara hukum syar’i tanpa adanya celaan atau dosa terhadap orang
yang meninggalkan secara mutlak. Sedang dalam arti dalil hukum mempunyai arti
yang sama dengan ini, yaitu sesuatu yang berasal dari Nabi baik dalam bentuk
ucapan, perbuatan atau pengakuan.
Sunnah dapat dibagi dari beberapa segi, diantaranya adalah dari segi selalu dan tidaknya Nabi melakukan perbuatan sunnah. Sunnah ini terbagi dua, yaitu :
Sunnah dapat dibagi dari beberapa segi, diantaranya adalah dari segi selalu dan tidaknya Nabi melakukan perbuatan sunnah. Sunnah ini terbagi dua, yaitu :
a. Sunnah Muakkadah : yaitu perbuatan yang selalu
dilakukan oleh Nabi disamping ada keterangan yang menunjukkan bahwa perbuatan
itu bukanlah sesuatu yang fardhu.
Contoh
: 1. Shalat Witir, sunnah dalam bentuk ini, karena kuatnya, sebagian ulama’
menyatakan bahwa orang yang meninggalkannya dicela, tetapi tidak berdosa,
karena orang yang meninggalkannya secara sengaja berarti menyalahi sunnah yang
biasa dilakukan oleh Nabi.
b. Sunnah Ghairu Muakkad : yaitu perbuatan yang pernah
dilakukan oleh Nabi, tetapi Nabi tidak melazimkan dirinya untuk berbuat
demikian.
Contoh
:2. Memberi Sedekah Kepada Orang Miskin, dalam hal ini kita dianjurkan
untuk melaksanakannya namun tidak akan berdosa bila tidak melakukannya. Dalam
perbuatan seperti ini digunakan kata : nafal, mustahab, ihsan, dan tathawwu’.
HARAM
Ialah suatu perbuatan yang apabila dilakukan akan mendapat siksa atau dosa, dan sebaliknya apabila ditinggalkannya maka akan mendapat ganjaran atau pahala. Prinsipnya, dalam penetapan hukum haram bagi yang dilarang adalah karena adanya sifat memberi mudharat (merusak) dalam perbuatan yang dilarang itu. Allah tidak akan mengharamkan sesuatu kecuali terdapat unsur perusak menurut biasanya. Haram menurut pengertian ini terbagi dua :
Ialah suatu perbuatan yang apabila dilakukan akan mendapat siksa atau dosa, dan sebaliknya apabila ditinggalkannya maka akan mendapat ganjaran atau pahala. Prinsipnya, dalam penetapan hukum haram bagi yang dilarang adalah karena adanya sifat memberi mudharat (merusak) dalam perbuatan yang dilarang itu. Allah tidak akan mengharamkan sesuatu kecuali terdapat unsur perusak menurut biasanya. Haram menurut pengertian ini terbagi dua :
a. Haram Dzati : yaitu sesuatu yang disengaja oleh Allah
mengharamkannya karena terdapatunsur perusak yang langsung mengenai dharuriyat
yang lima (lima unsur pokok dalam kehidupan manusia muslim).
Contoh
:
– Haramnya
membunuh karena langsung mengenai jiwa (nyawa)
b. Haram ‘Ardhi / Ghairu Dzati : yaitu haram yang
larangannya bukan karena zatnya, artinya tidak langsung mengenai satu diantara
dharuriyat yang lima itu, tapi secara tidak langsung akan mengenai hal-hal yang
bersifat dzati tersebut.
Contoh
– melihat
aurat perempuan yang akan dapat membawa kepada zina
MAKRUH
Secara bahasa karahah adalah sesuatu yang tidak disenangi atau sesuatu yang dijauhi, sedang dalam istilah ialah sesuatu yang diberi pahala orang yang meninggalkannya dan tidak diberi dosa orang yang melakukannya.
Secara bahasa karahah adalah sesuatu yang tidak disenangi atau sesuatu yang dijauhi, sedang dalam istilah ialah sesuatu yang diberi pahala orang yang meninggalkannya dan tidak diberi dosa orang yang melakukannya.
Contoh : Main kartu (seperti domino) bukan untuk
tujuan judi. Dari segi main kartu saja hukumnya hanya makruh karena dapat mengganggu ketenangan
beribadah. Tetapi bila dilakukan berketerusan sampai meninggalkan perbuatan
wajib, maka hukumnya menjadi haram.
MUBAH
Dalam istilah hukum, mubah adalah sesuatu yang diberi kemungkinan oleh pembuat hukum untuk memilih antara memperbuat dan meninggalkan. Ia boleh melakukan atau tidak. Sehubungan dengan pengertian tersebut, Al Syathibi membagi mubah menjadi beberapa macam, diantaranya adalah :
Dalam istilah hukum, mubah adalah sesuatu yang diberi kemungkinan oleh pembuat hukum untuk memilih antara memperbuat dan meninggalkan. Ia boleh melakukan atau tidak. Sehubungan dengan pengertian tersebut, Al Syathibi membagi mubah menjadi beberapa macam, diantaranya adalah :
a. Mubah yang Mengikuti Suruhan Untuk Berbuat : mubah
dalam bentuk ini disebut mubah dalam bentuk bagian, tetapi dituntut berbuat
secara keseluruhan.
contoh
:1. Makan dan Kawin, mubah dalam bentuk ini tidak boleh ditinggalkan
secara menyeluruh, karena merupakan kebutuhan atau kepentingan pokok manusia.
b. Mubah yang Mengikuti Tuntutan Untuk Meninggalkan :
mubah dalam bentuk ini disebut : “mubah secara juz’i tetapi dilarang secara
keseluruhan”.
Contoh
:2. Bermain, perbuatan ini dalam waktu tertentu hukumnya mubah, tetapi
bila dilakukan sepanjang waktu, hukumnya menjadi haram.