Resume Buku (Pengarang: Dr. Soeparman, SH., MH)
SISTEM PERPAJAKAN
Sistem Peradilan Pidana telah diperbaharui
dengan menggantiundang-undang hukum acara pidana yang termuat dalam Herziene
Indonesisch Reglement (HIR) dengan Kitab Undang-Undang HUkum Acara PIdana
(KUHAP) pada tahun 1981.
Dalam
Pidato Kenegaraan Kepresidenan dijelaskan bahwa adanya kenaikan kenaikan
pendapatan disektor pajak kecuali pada tahun 1982/1983 terdapat penurunan 0,9%
pada penerimaan pajak langsung.[1]
Pada tanggal 5 Oktober 1983, mentri Keuangan Radius Prawiro telah menyerahkan
Rancangan Undang-undang Pajak Baru kepada DPR. Dalam Pengantarnya Mentri
Keuangan mengatakan antara lain[2]
Sistem inti dan cara pemungutan. Dalam pidatonya disebut system perpajakan yang
ingin dicapai dengan undang-undang perpajakan[3].
Adalah system perpajakan yang berintikan:
1. Kesederhanaan,
yaitu agar Undang-undang perpajakan mudah dilaksanakan baik oleh wajib pajak
maupun petugas pajak, sehingga walaupun tarifnya berlaku berdasarkan
undang-undang pajak lama, diperkirakan dapat memberikan penerimaan lebih besar
kepada Negara. Pajak penghasilan yang terdiri dari tiga lapisan yaitu 15%, 25%,
dan 35%. Pajak pendapatan perusahaan mempunyai 10 lapisan tarip, dari 10%
sampai 50%. Tercantum pada Undang-undang Nomor 6 tahun 1983.
2. Pemerataan,
yaitu tidak akan dipungut pajak atas anggota masyarakat yang berpenghasilan
rendah. Dalam hal pajak tidak langsung (PPN, PPn BM) lebih banyak dikenakan
terhadap mereka yang banyak melakukan pembelian barang-barang.
3. Kepastian
Hukum, bagi para wajib pajak dalam waktu yang ditatapkan harus menyerahkan SPT.
Pada
pokoknya system perpajakan Indonesia yang dilandasi Pancasila dan Undang-undang
Dasar 1945 memiliki ciri dan corak tersendiri. Ciri dan corak tersebut adalah[4]
1. Bahwa
pungutan pajak merupakan perwujudan pengabdian kewajiban dan peran serta wajib
pajak secara langsung
2. Tanggung
jawab atas kewajiban pelaksana pajak
3. Anggota
masyarakat wajib pajak diberi kepercayan untuk dapat melaksanakan
kegotongroyongan nasional dalam pembayaran wajib pajak.
Salah
satu ciri administrasi perpajakan adalah self assessment, dengan system ini
pemerintah memberikan kepercayaan lebih besar kepada anggota wajib pajak untuk
melaksanakan kewajibannya[5]
Orang
yang menjadi wajib pajak mendaftarkan diri pada Direktorat Jendral Pajak untuk
memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP)[6].
Penghasilan kena pajak yaitu hasil usaha yang harus diperhitungkan /dibayar
pajaknya adalah penghasilan bruto dikurangi :
a. Biaya
untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan meliputi pembelian bahan,
upah dan gaji karyawan, honorarium, bunga, sewa kecuali pajak penghasilan.
b. Penyusutan
atas biaya untuk memperoleh harta berwujud perusahaan sebagaimana dimaksud
pasal 11
c. Iuran
dana pension yang mendapat persetujuan mentri keuangan
d. Kerugian
yang diderita karena penjualan ataupengalihan barang dan/atau dimiliki
e. Sisa
hasil usaha koprasi, kegiatan usahanya dari dan untuk anggota
Pasal
2 Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 menetapkan, pajak wajib dibayar menurut
ketentuan Undang-undang tanpa menunggu surat ketetapan Pajak. Waktunya
ditetapkan sebagai berikut[7]
a. Pajak
penghasilan karyawan yang dipotong oleh pemberi kerja, dalam pasal 21
Undang-undang pajak penghasilan 1984, harus disetorkan pada tanggal 10 bulan takwim
berikutnya setelah masa pajak berakhir
b. Pajak
penghasilan yang dipotong dimaksud dalam pasal 23 dan pasal 26 Undang Undang
pajak penghasilan 1984
c. Pajak
pertambahan nilai barang dan jasa selambat lambatnya 15 bulan takwim berikutnya
setelah masa pajak berakhir
d. Pajak
penghasilan dari kegiatan usaha dibidang impor dalam pasal 22 harus dilakukan
pada hari itu juga
e. Pajak
penghasilan dari kegiatan usaha dalam pasal 22 disetorkan selambat-lambatnya
pada tanggal 7 bulan takwim berikutnya setelah masa pajak berakhir
Yang
dimaksud adalah apabila jumlah pajak yang dibayar atau jumlahnya penghasilan
yang dipotong atau dipungut ternyata lebih besar dari jumlah pajak terhutang.
Pajak masukan lebih besar dari pajak keluaran[8].
Kelebihan
tersebut dapat diminta kembali atau diperhitungkan (dikompensasikan) dengan
pajak terhutang oleh wajib pajak[9]
dengan demikian Direktorat Jendral Pajak mengeluarkan surat ketetapan kelebihan
pajak (SKKPP).
Pemberian batas waktu dan pemberian bunga
bila terjadi kelambatan selain untuk memberikan kepastian hukum dan tertib
administrasi, mungkin juga sebagai imbangan antara kewajiban dan hak hak wajib
pajak. Pajak masukan menurut pasal 1 butir 1 UU nomor 8 Tahun 1983 adalah PPN
yang dibayar oleh pengusaha kena Pajak pada waktu pembelian barang kena pajak,
menerima jasa pajak, atau impor barang kena pajak
Beberapa kasus untuk mendapatkan
pengembalian pajak atas ekspor barang dengan dokumen-dokumen ekspor dipalsukan
atau dibuat asli tapi palsu baru baru ini berhasil diketahui. Dari uraian
diatas itu dapat diketahui bahwa dalam hubungan dengan wajib pajak Direktorat
Jendral Pajak setelah melakukan penelitian dan pemeriksaan, menerbitkan[10]:
a. Surat
keputusan Kelebihan Pembayaran Pajak seperti yang telah diuraikan diatas
b. Surat
pemberitaan, apabila jumlah pajak yang dibayar atau jumlah pajak penghasilan
yang dipotong atau dipungut sama dengan jumlah pajak terhutang. Direktorat
Jendral Pajak dapat mengeluarkan surat
ketetapan pajak dan surat ketetapan pajak tambahan berdasarkan pasal 13 UU
nomor 6 Tahun 1983.
Seperti
undang-undang pajak lama, undang-undang pajak jga menyediakan lembaga keberatan
dan banding. Yang dapat diajukan keberatan adalah:
a. Surat
pemberitaan
b. Surat
ketetapan pajak (SKP)
c. Surat
ketetapan pajak tambahan (SKPT)
d. Pemotongan
atau pemungutan oleh pihak ketiga berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan.
Tenggang
waktu untuk mengajukan keberatan diteapkan tiga bulan sejak tanggal surat yang
ditetapkan Drektorat Jendral pajak mengenai surat-surat yang disebutkan diatas
tadi, sebaliknya Direktorat Jendral Pajak harus memberim keputusan dalam jangka
waktu 12 Bulan, apabila tidak maka kberatan yang diajukan wajib pajak dianggap
diterima[11]
Mengenai
ketentuan pasal 26 Ayat 6 UU No 6 Tahun 1983 pengajuan keberatan tidak menunda
kewajiban membayar pajak. Hal ini ini diikuti oleh pasal 27 ayat 3 UU No. 6
Tahun 1983 menetapkan bahwa pengajuan permohonan banding tidak menunda
kewajiban membayar pajak.
Secara
rinci mengenai kerahasiaan ini diuraikan pada pasal 34 ayat 1 UU No. 6 Tahun
1983 setiap pajak dilarang memberitahukan kepada pihak lain yang tidak berhak
segala sesuatu yang diketahui atau diberitahukan oleh wajib pajak pada waktu
pejabat pajak itu melakukan tugasnya.
Dalam
pasal 42 UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan tersebut bahwa mentri keuangan
dapat memberi izin kepada polisi, jaksa, atau hakim untuk memperoleh keterangan
dari Bank tentang keadaan keuangan tersangka/terdakwa pada Bank. Izin tersebut
diberikan untuk kepentingan peradilan dalam perkara pidana.
Rincian
sebagai berikut :
1. Pelanggaran
yang hanya dapat dijatuhi sanksi administrasi saja ini meliputi:
a. Pasal
19 ayat 1 UU no. 6 Tahun 1983 (Pembayaran pajak terhutang setelah jatuh tempo)
b. Pasal
13 ayat 1d jo pasal 28 UU No. 6 Tahun 1983 (Pembukuan)
c. Pasal
15 ayat 1 jo ayat 2 UU No. 6 Tahun 1983 (Wajib pajak diberi Surat Ketetapan
pajak Tambahan)
d. Pasal
3 ayat 4 UU No. 8 Tahun 1983 (Tidak lapor untuk dikukuhkan sebagai pengusaha
Kena Pajak)
e. Pasal
14 UU No. 8 Tahun 1983 (Bukan pengusaha kena pajak membuat faktur pajak)
2. Pelanggaran
yang dikenakan sanksi administrasi dan sanksi pidana meliputi
pelanggaran-pelanggaran :
a. Pasal
38a UU No. 6 Tahun 1983 (Karena kealpaan tidak menyampaikan SPT sanksi administrasinya
ditetapkan dalam pasal 7 UU No. 6 Tahun 1983)
b. Pasal
38a UU No. 6 AThun 1983 (Karena kealpaan menyampaikan SPT yang isinya tidak
benar atau tidak lengkap) sanksi administrasinya pasal 8 UU no. 6 Tahun 1983
c. Pasal
39 ayat 1b UU no. 6 Tahun 1983 (dengan sengaja tidak menyampaikan SPT) sanksi
administrasi pasal 13 ayat 1b UU No 6 Tahun 1983
3. Kesalahan
wajib pajak yang hanya dikenakan sanksi pidana, meliputi :
a.
Pasal 39 ayat 1a UU No. 1983 (dengan
sengaja tidak mendaftarkan diri atau menyalahgunakan tanpa hak NPP)
b.
Pasal 39 ayat 1c UU No. 6 Tahun 1983
(dengan sengaja menyampaikan SPT yang isinya tidak benar atai tidak lengkap)
c.
Pasal 39 1f UU No. 6 Tahun 1983 (tidak menyetorkan pajak yang telah dipotong
atau di pungut)
d.
Pasal 41 UU No. 6 Tahun 1983 (Pembocoran
rahasia wajib pajak oleh pajak atau ahli yang diperbantukan)
Ada perbuatan wajib
pajak yang hanya dikenakan sanksi administrasi ada yang dikenakan sanksi
admnistrasi dan pidana da nada yang dikenakan sanksi pidana saja, mengenai
sanksi pidana akan diuraikan dalam bab berikut.
[1]
Pada waktu itu, pajak langsung terdiri dari pajak pendapatan, pajak kekayaan,
pajak perseroan, dan pajak rumah tangga.
[2]
Radius Prawiro, Mentri Keuangan RI. Dalam penjelasan Pemerintah di DPR, tentang
Rancangan U&ndang-undang Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai dan
Ketentuan Umum Perpajakan, Jakarta 05 Oktober 1983.
[3]
Yang dimaksud adalah undang-undang nomor 6 Tahun 1983, undang-undang nomor 7
Tahun 1983 dan Undang-undang Nomor 8 tahun 1983 yang menggantikan Undang-undang
perpajakan sebelumnya.
[4]
Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983, penjelasan umum butir 3 (tambahan lembaran
Negara RI nomor 3262 halaman 101)
[5]
Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983, penjelasan umum butir 3 (tambahan lembaran
Negara RI nomor 3262 halaman 102)
[6]
Pasal 2 Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983
[7]
Pasal 1 ayat 1 sampai dengan ayat 6 keputusan Mentri Keuangan Republik
Indonesia Nomor 948/KMK.04/1983
[8]
Pajak masukan adalah PPN yang dibayar oleh pengusaha kena pajak pada waktu
pembelian barang kena pajak
[9]
Pasal 11 ayat 1 UU Nomor 6 Tahun 1983 dan pasal 9 ayat 4 UU Nomor 8 Tahun 1983
[10]
Pasal 17 Ayat 1 dan 2 UU Nomor 6 Tahun 1983
[11]
Pasal 26 ayat 5 UU No. 1983
Tidak ada komentar:
Posting Komentar