*Definisi Tanah Swapraja
Wilayah/daerah swapraja
adalah wilayah yang memiliki hak pemerintahan sendiri. Istilah ini dipakai
sebagai peranan bagi istilah pada masa kolonial Belanda, zelfbestuur
(jamak zelfbesturen).
Sistem administrasi daerah
Indonesia pada masa Hindia-Belanda dikenal rumit dan mengakui
bentuk-bentuk pemerintahan daerah yang berbeda-beda. Daerah swapraja adalah
salah satu bentuk yang diakui oleh pemerintah kolonial dan mencakup berbagai
bentuk administrasi, seperti kesultanan, kerajaan, dan keadipatian.
Status swapraja berarti daerah tersebut dipimpin oleh pribumi
berhak mengatur urusan administrasi, hukum, dan budaya internalnya. Contoh
daerah swapraja adalah Kesunanan Surakarta. Pemerintahan pendudukan
Jepang (1942-1945) menggantikan status daerah swapraja menjadi kochi.
Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia,
daerah-daerah di Indonesia memperoleh status daerah swapraja oleh pemerintahan
antara Hindia-Belanda melalui berbagai Lembaran
Negara (Staatsblad). Pada masa Republik Indonesia Serikat,
daerah-daerah swapraja menjadi bagian dari "negara" /negara bagian.
Reorganisasi pemerintahan daerah
semenjak berlakunya UU no. 1 tahun 1957 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah
secara efektif menghapus status swapraja dan membentuk "daerah yang berhak
mengurus rumah tangganya sendiri ", yang juga disebut Daerah Swatantra dan Daerah
Istimewa (Pasal 1).
*Penjelasan Tanah Swapraja
Menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia, Swapraja berasal dari kata “Swa” yang berarti; “sendiri”
dan “Praja” yang berarti;
“kota-negeri”, Swapraja,
berarti daerah yang berpemerintahan
sendiri. Dengan demikian, daerah Swapraja berati daerah yang
memiliki Pemerintahan sendiri. Sebutan swapraja tidak terdapat di dalam
Undang-Undang Dasar 1945, dalam penjelasan Pasal 18 disebut; Zelfbesturende
Landschappen. Baru di dalam Konstitusi Republik Indonesia Serikat dan
Undang-Undang Dasar Sementara 1950 di jumpai sebutan swapraja, masing-masing
dalam Bab II dan Bab IV. Di dalam II bagian III Konstitusi Republik Indonesia
Serikat yang berjudul daerah Swapraja, dinyatakan dalam pasal 64 dan 65, bahwa;
daerah-daerah Swapraja yang sudah
ada, diakui. Mengatur kedudukan daerah-daerah swapraja masuk dalam
tugas dan kekuasaan daerah-daerah bagian yang bersangkutan, dengan pengertian
bahwa mengatur daerah itu dilakukan dengan kontrak, yang diadakan antara
daerah-daerah bagian dengan daerah-daerah swapraja yang bersangkutan. Dalam Bab
IV Undang-Undang Dasar Sementara 1950 yang berjudul; Pemerintah Daerah dan
Pemerintah Swapraja, dinyatakan dalam pasal 32, bahwa kedudukan daerah-daerah
swapraja diatur dengan Undang-Undang.
UUPA dalam Diktum ke
IV, masih menyebut adanya daerah swapraja dan bekas swapraja, namun demikian,
hingga kini Peraturan Pemerintah yang secara khusus merupakan pelaksanaan dari
Diktum ke IV UUPA huruf A tersebut, belum juga ada. Yang ada adalah Peraturan
Pemerintah No. 224 tahun 1961 yang memuat ketentuan mengenai pembagian tanah
swapraja dan bekas swapraja dalam rangka pelaksanaan Landreform. Peraturan
Pemerintah Nomor 224 tahun 1961.
Indonesia pada waktu
masih menjadi Hindia Belanda, terdiri atas daerah-daerah yang diperintah
langsung oleh Pemerintah Hindia Belanda ( Rechtstreeks Bestuurgebeid ) dan
daerah-daerah yang pemerintahannya diserahkan kepada Zelfbestuurders, yaitu apa
yang dikenal sebagai daerah-daerah swapraja. Menurut Prof.Boedi Harsono, “swapraja adalah suatu wilayah
pemerintahan yang merupakan bagian dari daerah Hindia Belanda, yang kepala
wilayahnya ( dengan sebutan; Sultan, Sunan, Raja atau nama adat yang lain ),
berdasarkan perjanjian dengan Pemerintah Hindia Belanda menyelenggarakan
pemerintahan sendiri ( dalam Indische Staatsregeling 1855 Pasal 21 disebut;
Zelfbestuur ) di wilayah yang bersangkutan, masing-masing berdasarkan
perjanjian tersebut serta adat-istiadat daerahnya masing-masing yang beraneka
ragam.
*Contoh Tanah
Swapraja
Hukum
Tanah Swapraja adalah keseluruhan peraturan tentang pertanahan yang khusus
berlaku di daerah swapraja, seperti Kesultanan Yogyakarta. Hukum Tanah Swapraja
ini pada dasarnya adalah hukum tanah adat yang diciptakan oleh Pemerintah Swapraja
dan sebagian diciptakan oleh Pemerintah Hindia Belanda. Landasan hukumnya
adalah antara lain Koninlijk Besluit yang diundangkan dalam Staatsblad No. 474
tahun 1915 yang intinya memberi wewenang pada penguasa swapraja untuk
memberikan tanahnya dengan hak-hak barat serta Rijksblad Kesultanan 1918 No.16
jo 1925 No.23, serta Rijksblad 1918 No.18 jo Rijksblad 1925 No.25 dimana hak
milik atas tanah tidak diberikan kepada warga negara Indonesia non-pribumi.
Dalam
konsiderans Staatsblad No. 474 tahun 1915 ditegaskan bahwa di atas tanah-tanah
yang terletak dalam wilayah hukum swapraja, dapat didirikan hak kebendaan yang
diatur dalam Burgerlijk Wetboek (BW), seperti hak eigendom, erfpacht, opstal,
dan sebagainya. Dimungkinkan bagi pemerintah swapraja untuk memberika
tanah-tanah swapraja dengan hak-hak barat, terbatas pada orang-orang yang
tunduk pada BW saja. Sebagai contoh adalah daerah Yogyakarta yang sampai
sekarang masih dijumpai tanah-tanah swapraja.
DI
Yogyakarta, Sultan merupakan pemilik tanah yang merupakan tanah Keraton. Rakyat
hanya punya hak sewa atau hak pakai dan biasa disebut magersari. Jika Sultan
menghendaki, sewaktu-waktu ia dapat mencabutnya kembali. Menurut sejarahnya,
hukum tanah diatur bersama-sama, baik dengan tanah kas desa, tanah penduduk,
maupun tanah Keraton itu sendiri.
Tanah
kas desa di DIY merupakan pemberian dari pihak Keraton Yogyakarta. Karenanya,
berbagai permasalahan yang berkaitan dengan tanah kas desa dapat diselesaikan
dengan cara musyawarah sehingga pemanfaatan tanah tersebut dapat dilakukan
secara optimal. Sedangkan Tanah Keraton adalah tanah yang belum diberikan
haknya kepada penduduk maupun kepada pemerintah desa, masih merupakan milik
Keraton sehingga siapapun yang akan menggunakannya harus meminta ijin kepada
pihak Keraton.
Berdasarkan
UU No 3 Tahun 1950 sebagaimana diubah dengan UU No 19/1950 dan UU No 9/1955
tentang Pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta, DIY mengalami perubahan dari
sebuah daerah swapraja menjadi sebuah daerah yang bersifat istimewa di dalam
teritorial NKRI. Bentuk keistimewaan yang menonjol yang diberikan kepada DIY
adalah pada hukum pertanahan. Aturan di DIY itu terlepas dari aturan pertanahan
yang ada seperti Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
Pokok-Pokok Agraria (UUPA) dan sebagainya. Alasannya adalah di DIY sudah ada
dasar hukum yang mapan, yaitu menggunakan hukum zaman Belanda dan hukum adat.
Hal itu dikarenakan tidak adanya istilah adat seperti hak magersari, nelosor,
nginduh dan nggandok.
Di
DIY pada awalnya tidak pernah ada tanah negara. Semua tanah negara di DIY
adalah tanah Sultan, yang sejak kemerdekaan diberikan kepada pemerintah daerah.
Selain itu, ada tanah milik Keraton Yogyakarta (Sultan Ground), dan tanah milik
Puro Paku Alam (Paku Alam Ground), yang sebagian saat ini digunakan oleh
masyarakat untuk bermukim atau berbudidaya dengan kekancing atau sertifikat hak
pakai dari Keraton dan Puro, tetapi bukan hak milik. Karena bersifat istimewa,
pertanahan DIY dengan demikian seharusnya juga tidak cukup diatur dengan UUPA, melainkan
harus dijabarkan dalam Peraturan Daerah (Perda).
Sri
Sultan Hamengku Buwono X mengatakan bahwa status tanah Sultan Ground dan Paku
Alam Ground adalah tanah ulayat (Tanah Adat) dan tidak dijamin oleh UUPA,
sampai sekarang status kepemilikannya dibuktikan surat yang dikeluarkan
keraton, oleh karena itu pemerintah pusat harus memperjelas kepastian hukum
status tanah milik keraton dan Paku Alam melalui sebuah Undang-Undang.
Dualisme
penerapan hukum tanah di DIY telah berlangsung sejak diterbitkannya UUPA yang
mengatur secara detail mengenai ketentuan hukum agraria secara nasional. Bagi
Yogyakarta, UU tersebut awalnya harus dikecualikan dan penerapannya baru diakui
pada 2 Februari 1984 dimana Sri Sultan Hamengkubuwono IX secara resmi
menyatakan UUPA juga berlaku di Yogyakarta.
Sri
Sultan HB X sebagai Gubernur DIY mengatakan bahwa meskipun wilayah DIY termasuk
sempit (sekitar 3.185,8 km2), namun akumulasi masalah mengenai pertanahan di
DIY tergolong rumit dan unik. Hal itu tampak sekali ketika dirunut dari faktor
sejarah berdirinya DIY. Dari seluruh luas wilayah DIY, 4.000 hektar di
antaranya adalah Sultan Ground dan Paku Alam Ground, yang berupa tanah-tanah
raja dan keluarga Keraton, situs, tanah yang digarap masyarakat atau magersari
dan tanah kosong serta garapan kosong. Tanah Sultan Ground dan Paku Alam Ground
adalah tanah yang bukan milik perseorangan atau desa. Kebanyakan digunakan
untuk tempat tinggal dengan status magersari. Mereka tidak memiliki sertifikat,
melainkan surat kekancingan yang dikeluarkan kraton. Tentu dengan konsekuensi
siap pindah apabila tanah yang ditempati diminta kraton.